OPERASI
SEROJA (1975 – 1979)
Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember
1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam
sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian
besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari
sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU.
Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim
Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan
dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar
operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan
“Operasi Komodo” yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin
keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari
Terbit).
Euphoria politik yang berkepanjangan
ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha
(combat inteligence) terbatas dengan sandi “Operasi Flamboyan”. Operasi
yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1
Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di
perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi
“Operasi Seroja”.
Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini,
diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang.
Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah
melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia
juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia.
Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de
Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan
Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30
Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik
Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte
Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.
Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat
baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober).
Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan
ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang
meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga
menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan.
Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas
Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas
frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal
tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. “Mereka buang jangkar lebih dekat
ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari
Timor,” kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah
kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga
formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver
abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di
sisi kiri atau kanan pesawat).
Gunship
Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di
Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan
berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan
Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan
pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air
crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara.
Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang
itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi
diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas
Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron
31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. “Saya
belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat
perkembangan situasi di lapangan,” ingat Marsda (Pur) Suakadirul.
Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31
diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion
paratroops. “Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot,
co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load
master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang,” katanya. Kebetulan
dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran
penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb.
Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. “Sebagai panutan, lah.”
Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak
dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut
Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa
akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan
mengangkut satu batalion pasukan payung. “Satu pesawat memuat 100 orang,” jelas
Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor,
Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk
Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk
persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya.
Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight
leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules
T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan
landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus
heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara
Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow
dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat.
Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan
Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan,
selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang
dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian
22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse
ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam
Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk
menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke
Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi.
T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih
sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah
menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb.
Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil
dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello
(kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol
Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso (kiri) serta Mayor
Pnb.Murdowo (kanan).
Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap
di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili
dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan.
Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4
jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup
untuk penerbangan 10 jam 30 menit.
Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut
Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan
sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito
dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie
kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf)
Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori
Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna.
Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang.
Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga
tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur.
Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C
dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim
disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu
pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat
berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan.
Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan
diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena
terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan
ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda
menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi
menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara
ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono.
Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak
sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan.
Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat
tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support.
Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini
disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis
dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan,
diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33
T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86
Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26
Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable.
Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih
berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb
Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service.
Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di
palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan
modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara.
Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun
diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin
kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20
pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship.
Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua
pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47
gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga
senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan
dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah
dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi
Linud 7 Desember.
Go!
Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali,
bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan
turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau
Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel
berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk
persiapan.
Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10
menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan
pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan
sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi.
Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing.
Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena
radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan
kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso
de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. “Tidak ada informasi
dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro,” protes
Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di
perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang
memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. “Saya tidak mengerti
soal itu,” jawab Suakadirul.
Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan
dikurangi hingga 110 knot. “Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala,
terus depressurized,” cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju
dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal
antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula
jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. “Saya berada pada
ketinggian 900 kaki,” ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat
terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki.
Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung
Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar
pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap
diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970,
lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute
Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over
night). Sementara, navigator buka suara, “2 menit ahead.”
Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan
tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar
lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat
perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45,
bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. “Kerongkongan saya
mendadak kering,” ujar Suakadirul.
Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45,
jumping master berteriak. “Penerjun siap?” Dilanjutkannya dengan
perintah, “Sedia di pintu!” Sekian detik kemudian, jumping master berteriak
lebih keras. “Go!”
Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat
pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili,
anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari
Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat. Dalam empat hitungan,
parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili.
Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin
rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan
diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang
dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.
Pasukan Linud yang masih mengambang, balik
menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan
gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan
sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal
dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin
telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir
disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal
frigat Portugal pun, tentu tidak tidur.
Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan
Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah,
tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah
kota, “terpaksa” menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung
terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama
sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras
menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan
terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui
kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar,
tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena
Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara.
Perkiraannya serbuan dari perbatasan.
Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan
ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway
Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang.
Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma
satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C
Lettu Luhut Panjaitan.
Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari
bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang
diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus
badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation
compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca
kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke
depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga
captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di
kepalanya. “Ternyata cuma kopi.”
Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi
Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan
pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke
Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang
tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan
sebagai DZ. Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion
502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman
karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul
mengganti pesawatnya dengan T-1305.
Salah tembak
Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah
siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau
menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak
menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali
terulang. Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka
adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang
garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif
mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan “Merah
Putih”. Untung lagi, tidak ada korban.
Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa
saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga
penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili.
Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja
memutuskan membatalkan sortie ketiga.
Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah
hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili.
Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke
Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember,
pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah
dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan
Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia.
Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35
orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua
mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga
lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan
beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan
munisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna,
tewas tertembak. “Ditembak sniper,” ungkap Hendro. Di pihak Fretilin,
korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat
majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul “Drop Zone Dili”,
122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian,
giliran Baucau dibebaskan.