'WILUJENG SUMPING'

Riung mungpulung Urang Sindangsari
Silih Asah Silih Asih Silih Asuh

Rabu, 09 November 2011

Siliwangi dalam Filsafat Maung


Siliwangi.....

datang teu ngarupa,
seungit teu ka ambeu
ngaliwat sakolebat........

ngariung ngajadirupa
panyabaan pakusarakan........
najan leutik moal leungit
pageuh keukeut sagaraning langit


Konon, dalam mitos sejarah Sunda, Raja Sunda Pajajaran yang paling terkenal Prabu Siliwangi mengakhiri masa kejayaan kerajaan Pajajaran dengan tapadrawa. Sejak kejadian itu, kerajaan Pajajaran ikut menghilang sebagaimana hilangnya Prabu Siliwangi yang tapadrawa di hutan brihadara sehingga lahirlah istilah Prabu Siliwangi dan kerajaan Pajajaran nga-hyang. Dalam arti sebenarnya, tapadrawa yang dilakukan Prabu Siliwangi jadi hyang yang berarti jadi pandeta atau mandeta, bukan berarti "menghilang". Namun, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang, Prabu Siliwangi yang dianggap salah seorang manusia istimewa di kaumnya meninggalkan pesan yang disebut dalam istilah "wangsit", yang kemudian dikenal sebagai "Wangsit Siliwangi". 

  Wangsit ini kemudian berusaha ditafsirkan dalam berbagai aspek kehidupan nyata karena isinya sangat padat dengan filsafat hidup, yakni "lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung". Wangsit Siliwangi itulah yang menjadi salah satu kepercayaan banyak orang bahwa Prabu Siliwangi bermetamorfosis (manjana) menjadi maung (macan) setelah tapadrawa (tapa hingga akhir hayat) di brihadara (hutan belantara). 

  Oleh karena itu, sangatlah bertolak belakang bila telah terjadi metamorfosis (manjana) Prabu Siliwangi yang dikenal bijaksana dan penuh kasih sayang dalam memimpin rakyatnya harus mengakhiri hidupnya dengan menjadi maung. Jadi, mitos metamorfosis ini memang perlu penelitian lebih dalam ilmu sejarah, kebudayaan, sosiologi, arkeologi, antropologi, bahkan filologinya secara valid berdasarkan data dan fakta yang didapat dari para ahlinya. Namun, sekali lagi mitos ternyata telah berjalan sebagai folklore di masyarakat umum dan telah dipercaya menjadi konvensi tak tertulis yang kadang mencampuradukkan antara sejarah (syajaratun) dan dongeng (folk tale) sebagai bagian dari karya sastra, termasuk perihal Wangsit Siliwangi yang penuh dengan siloka dan filsafat hidup. 

  Artinya, jika kita mengkaji lebih dalam perihal kehidupan masyarakat Jawa Barat-yang notabene dominan etnis Sunda-di masa berikutnya dan kehadiran pasukan Divisi Siliwangi sebagai elemen kehidupan manusia yang memiliki keistimewaan dalam beberapa hal yang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya, maka hal itu mungkin terjadi karena pengaruh mitos Prabu Siliwangi dan kerajaan Pajajaran, atau karena Wangsit Siliwangi dipercaya telah memberi nuansa penting dalam kehidupan orang Sunda dan tentara Siliwangi? Inilah persoalan menarik yang masih memerlukan penelitian dan pemikiran lebih panjang dari masyarakat dan tentara Siliwangi di Jawa Barat. 

  Fakta sejarah Dalam kehidupan selanjutnya di Jawa Barat kemudian lahir segolongan masyarakat yang memiliki keistimewaan tertentu. Mereka adalah tentara Kodam III Siliwangi yang berisi kumpulan manusia yang memiliki semangat jihad dan semangat juang tinggi membela tanah air. Dirinya juga memiliki rasa berkorban dan kemampuan memainkan strategi perang militer yang baik daripada masyarakat lainnya. Tentara Siliwangi-dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajuritnya berfungsi sebagai alat pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik budaya bangsa Indonesia-tetap menjadi harapan sebagai stabilisator dan dinamisator masyarakat, serta pengawal, pengaman, pengamal ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945. 

  Artinya, secara tidak langsung tentara Siliwangi adalah abdi abadi ampera bangsa Indonesia. Berdasarkan alasan tersebut, tentara Siliwangi yang bermarkas di Jawa Barat memang tidak bisa lepas begitu saja keberadaannya dan saling mendukung antar sesama rakyat Jawa Barat dalam perannya sebagai abdi abadi ampera bangsa Indonesia. Filsafat "maung" Siliwangi Kiprah Divisi Siliwangi yang sejak resmi berdiri 20 Mei 1946 di Tasikmalaya telah demikian banyak dan sudah terasa sebagai abdi abadi Ampera.

  Namun, dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, Siliwangi bukan berarti tidak pernah mengalami berbagai kendala dan masalah. Justru sebaliknya, dalam perkembangan era reformasi saat ini, peran Siliwangi makin berat dengan berbagai tantangan yang dihadapi secara ipoleksosbudhankam, baik yang datang dari dalam/ intern masyarakat sekitar maupun dari luar/ekstern masyarakat dunia pada umumnya. Peran Siliwangi saat ini menjadi semakin rentan karena tidak hanya berhadapan dengan masalah politik dan militer, tetapi yang lebih berat adalah berhadapan dengan masalah sosial budaya, di mana kerap kali tentara Siliwangi harus berhadapan dengan masyarakat dan keluarganya sendiri. Konflik-konflik di masyarakat yang bermuara pada keadilan dan kemakmuran itu tentu saja harus menjadi catatan khusus Siliwangi dalam upaya mengukuhkan keberadaannya sebagai abdi abadi ampera bersama masyarakat.

  Sebab, jika konflik-konflik intern khususnya di Jawa Barat berhasil teratasi, dampaknya akan membawa citra positif bagi tentara Siliwangi dan masyarakat Jabar umumnya yang sedang terlibat dalam konteks perubahan sosial (social change) di dunia yang tidak selalu kongruen (sama dan sebangun) dengan tingkat kemajuan sosial masyarakat. Tentara Siliwangi juga harus mengantisipasi proses perubahan sosial di masyarakatnya karena bersamaan dengan proses perubahan sosial itu, niscaya pula terjadi perubahan persepsi tentang nilai dan norma yang mengatur perilaku manusia sebagai perseorangan atau warga suatu kolektivitas (semacam tentara). Tentara Siliwangi membutuhkan sugesti kultural yang akan makin memperkokoh posisinya sebagai kelompok priviliege (kelompok berkepribadian istimewa) yang berkemungkinan menjadi pattern and trendsetter (panutan dan suri teladan) bagi masyarakatnya. 

  Di masyarakat Jawa Barat, sugesti kultural itu bisa didapat salah satunya dari filsafat dalam folklor masyarakat Jawa Barat. Nilai kultur historis masyarakat Sunda yang kuat dengan mitologi Kerajaan Pajajaran dan raja masyhurnya Prabu Siliwangi yang dimitos- kan bermetamorfosis (manjana) menjadi maung, kemudian meninggalkan Wangsit Siliwangi sebelum nga-hyang untuk tapadrawa di brihadara, menjadikan tentara Siliwangi mendapat sugesti kultural berupa filsafat positif maung Siliwangi. Filsafat positif maung Siliwangi sangat bermanfaat bagi masyarakat dan tentara Siliwangi dalam menghadapi kehidupan masa kini karena maknanya yang sangat relevan dengan situasi zaman yang terus berubah hingga saat ini, antara lain Sagalak-galak ning maung tara ngahakan anakna (Sejahat-jahatnya macan tidak pernah memakan anaknya sendiri); yang berarti manusia dilarang merugikan masyarakat atau bangsanya. Ini satu di antara 20 filsafat positif maung Siliwangi. 

  Tentara Siliwangi yang mau tidak mau terikat dengan mitos historis masyarakatnya, telah menunjukkan peran sertanya bagi kehidupan masyarakat Jabar-Banten dan bangsa Indonesia pada umumnya. Siliwangi yang walaupun lekat dengan aroma mitos, klenik, konvensi, dan realitas sosial terus berubah dari waktu ke waktu, lewat aplikasi sugesti kultural filsafat positif maung Siliwangi. Di era global ini Siliwangi harus mampu menjadi pattern and trendsetter (contoh panutan dan pengolah tingkah laku) yang sesuai dengan karakter masyarakat Jabar-Banten dan bangsa Indonesia. Semoga Siliwangi tetap "mengaum" (dengan suara membahana) di seantero Tatar Sunda Jabar-Banten dan zamrud khatulistiwa Indonesia. ERWAN JUHARA Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMAN 10 Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biodata Kang Agil

Arsip Blog

Wadya Balad