Tu 16, Pesawat Pembom Jarak Jauh & Terbesar AURI
Tu 16, Bomber Indonesia Yang Menggetarkan
Dunia
Suwandi
Sudjono , Dengan Tu-16 Fly Over Kualalumpur
1961, dia menjemput dua pesawat
Tu-16 Badger ke Rusia. Sembilan tahun kemudian, 1970, dia pula yang menerbangkan
pembom raksasa itu untuk terakhir kali dan langsung meng-grounded. Seperti sudah
menjadi pengetahuan bersama, Indonesia pernah mengoperasikan pembom strategis,
Tupolev Tu-16 Badger. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 24 pesawat. 12 versi
pembom (Badger A), 12 pesawat lagi versi pembopong rudal anti kapal permukaan
KS-1 (AS-1 Kennel). Versi pembom dioperasikan Skadron 41, sementara Tu-16 KS di
Skadron 42. Keduanya beroperasi dibawah kendali Wing 003. Marsma (Pur) Suwandi
Sudjono, penerbang Indonesia pertama yang mencicipi Tu-16 sekaligus
menerbangkannya untuk terakhir kali (farewell flight) pada bulan Oktober 1970,
menuturkan pengalaman yang dilaluinya 39 tahun lalu. Disela keterbatasan daya
ingat yang mulai menurun, penerbang lulusan Sekolah Penerbang Lanjutan (SPL) X
1960 ini, menerima Angkasa di kediamannya di Komplek Perumahan TNI AU,
Jatiwaringin.
Diselimuti
rahasia
Usai merampungkan pendidikan penerbang di SPL
Yogjakarta, Letda Udara Suwandi beserta tiga rekannya Sumarno, J Wattimena, dan
DEF Dumatubun, langsung ditempatkan di Skadron 1/Pembom, Lanud Halim
Perdanakusuma, Jakarta. Malang tak bisa dihindari, Wattimena dan Dumatubun gugur
dalam latihan terbang malam menggunakan pesawat B-25 Mitchell tanggal 25 Mei
1960. Pesawatnya jatuh di daerah Pondok Gede (sekarang stasiun pengisian bahan
bakar umum-Red), enam hari sebelum Presiden Soekarno menyematkan wing penerbang
di dadanya sebagai penerbang TNI AU.
Belum sampai setahun bercokol sebagai bomber, Februari 1961 datang panggilan
yang tidak pernah diduga-duga Suwandi. Dia dan Sumarno (marsma purnawirawan,
wafat 5 April 1991), ditugaskan menjemput pesawat yang paling menakutkan saat
itu. Hanya Amerika dengan pembom B-58 Hustler-nya serta Inggris dengan pembom
uniknya V bomber, yang mampu mengimbangi Uni Soviet. Lucunya, Suwandi dan tentu
juga Sumarno, mengaku tidak tahu-menahu seperti apa sosok Tu-16 serta seberapa
besar daya deterent-nya (bagi Barat). “Saya masih muda, tidak tahu menahu. Saya
hanya merasa senang karena ke luar negeri. Pokoknya, tahunya berangkat dan
membawa pulang Tu-16 dengan selamat,” tutur Suwandi, pria kelahiran Banyumas, 4
April 1936.
“Padahal saya masih ko-pilot,” katanya lagi.
Memang, ketika diberangkatkan, Suwandi dan Sumarno masih berstatus ko-pilot
(B-25). Tapi begitulah keadaan TNI AU pada tahun-tahun 50-an dan 60-an. Terutama
setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1950 yang meninggalkan puluhan
pesawat bagi TNI AU, kebutuhan kapten pilot menjadi sangat mendesak. Comot
sana-sini, peralihan tugas hampir tidak terduga. Kalau hari ini terbang B-25,
bisa saja besoknya pilot bersangkutan terbang C-47 Dakota. Keadaannya semakin
tak terkendali, ketika Soekarno mengobarkan kampanye Trikora untuk merebut Irian
Barat.
Dengan persiapan terbilang kilat untuk mengejar
kebutuhan penerbang, Suwandi yang ber-callsign “Thunder Jet” dan Sumarno
“Thunder Bird” berangkat ke Riazan, Uni Soviet. Kedua pemuda ini didampingi
Mayor Saroso Hurip dan Mayor Sutopo. Mestinya, dituturkan Suwandi, Saroso Hurip
yang akrab dipanggil Pak Cok tentu sangat mengerti tujuan yang hendak dicapai.
Entah terlalu rahasianya, atau karena Saroso terlalu senior dibandingkan kedua
anak muda ini, selama perjalanan tidak banyak pembicaraan yang bisa dilakukan
Suwandi dengan Saroso. “Selama diperjalanan, Pak Cok tidak mengatakan apa-apa,”
kata Suwandi.
Setibanya di Moskow, mereka langsung menuju
Riazan, selatan Moskow. Pengiriman Suwandi yang bisa disebut crash program,
terlihat dari masalah bahasa. Keduanya tidak diberikan kursus Bahasa Rusia.
Jalan keluarnya diambil dengan memanfaatkan jasa penterjemah. Pendidikan
diberikan kepada Suwandi dan Sumarno sebagai ko-pilot secara cepat. Begitu
buru-burunya, mereka hanya empat bulan di Riazan sebelum akhirnya pulang ke
tanah air membawa Tu-16. Sementara Saroso dan Sutopo, sudah lama kembali ke
Indonesia.
Hari kepulanganpun tiba. Sekali lagi, Suwandi
tidak diberitahu. Terkesan dadakkan, dan dirahasiakan. Suwandi hanya ingat,
ketika dua Polisi AU Rusia datang menjemputnya tengah malam di sebuah hotel
tempat menginap di Kota Moskow. Petugas itu hanya berujar singkat sambil
menyodorkan surat pengantar, bahwa Suwandi harus segera berkemas untuk bersiap
membawa Tu-16 ke Indonesia.
Disini uniknya. Begitu dijemput, mereka dibawa naik mobil berputar-putar di
Kota Moskow dengan arah yang sulit ditebak Suwandi maupun Sumarno. Tidak hanya
dibawa berkelok-kelok, mobil dan petugas yang tidak mengucapkan sepatah katapun
diganti, yang semakin mengaburkan bagi mereka dan memang itulah tujuannya. “Ini
khasnya intelijen,” jelas Suwandi.
Hingga sampailah mereka di sebuah pangkalan udara
AU Uni Soviet. “Saya tidak tahu nama pangkalannya dan kemana arahnya.
Membingungkan sekali.” Suwandi hanya melihat jejeran dalam jumlah besar, pesawat
tempur dan pembom Soviet. Tanpa membuang-buang waktu lagi, digelapnya malam,
Suwandi dan Sumarno mempersiapkan diri. Briefing singkat diberikan. Semua
peralatan, termasuk masker untuk menghindari kekurangan oksigen telah tersedia.
Suwandi ditunjuk sebagai ko-pilot Tu-16 yang dinomori M-1601. Sementara Sumarno
M-1602. Pilotnya orang Rusia.
Begitulah, dua pesawat Tu-16 pertama Indonesia berangkat dari sebuah
pangkalan udara Rusia yang tidak jelas nama dan letaknya. Dari sini, mereka
mengarah ke sebuah pangkalan di selatan Siberia, di wilayah Irkut. Dalam
perjalanan panjang melelahkan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu, tidak
banyak pula yang dibicarakan Suwandi dengan kapten pilotnya. Hanya hamparan
salju putih sejauh mata memandang, selama perjalanan hingga mendarat di Irkut.
Sekali lagi, di sini dia melihat deretan pesawat AU Rusia dalam jumlah besar.
Setelah melakukan persiapan secukupnya, pesawat kembali mengudara.
Kali ini, mereka akan melintasi perbatasan menuju Cina. Demi keamanan dan
menghemat bahan bakar, mereka terbang di ketinggian 12 kilometer. Pendaratan
berikutnya ditentukan di Peking (sekarang Beijing-Red). Dari Peking, kedua
pesawat direncanakan mendarat di Rangoon, Myanmar. Namun karena cuaca buruk (bad
weather), pendaratan terpaksa dialihkan ke Kunming masih wilayah Cina, menjelang
perbatasan Myanmar. Esoknya, baru mereka mendarat di Rangoon. Selama perjalanan,
hampir tidak ditemui hambatan berarti, termasuk incaran dari pesawat-pesawat
Barat.
Di Rangoon sudah menunggu Saroso dan Sutopo.
Karena dalam perjalanan ke Indonesia, kedua penerbang ini akan on board sebagai
kapten pilot. Lalu bagaimana dengan Suwandi dan Sumarno? “Kami disuruh ke
Singapura untuk refreshing, sebelum kembali ke Jakarta dengan menumpang
airline,” jelas Suwandi senyum.
Baru beberapa hari di Indonesia, Suwandi sudah
mendapat perintah operasi baru lagi. Dia ditugaskan ke Irian Barat menebarkan
pamflet menggunakan B-25. Tapi lagi-lagi, belum lama bertugas, dia diperintahkan
untuk kembali ke Rusia, persisnya ke Simferopol, untuk menjemput pesawat ketiga
dan keempat versi KS. Dalam keberangkatan kedua ini, TNI AU mengirim empat
kapten pilot : Kapten Udara Sardjono (pimpinan rombongan), Lettu Udara Jhony
Herlaut, Lettu Udara Suwandi, dan Letda Udara Sumarno. Karena sebelumnya ke
Simferopol sudah dikirim beberapa kadet penerbang, mereka langsung ditunjuk
sebagai ko-pilot.
Rute yang diambil tidak berbeda dengan yang
pertama. Waktu pendidikan juga masih sama, empat bulan. Hanya saja kali ini,
mereka sempat menyaksikan penembakkan rudal KS, namun belum sempat terbang
malam. Seperti yang pertama, setibanya di Rangoon pesawat kembali diambil alih
oleh Pak Cok. Adapun set crew pengambilan kedua ini : Suwandi dengan (alm)
Isnaen, Jhony Herlaut dengan Damanik, Sumarno dengan Rahmat, dan Sardjono dengan
Masulili.
Sejak kedatangan kedua, berturut-turut setelah
itu ke-24 pesawat Tu-16 datang silih berganti. Sementara menunggu rencana
perebutan Irian Barat yang tidak jelas entah kapan, para penerbang berkebangsaan
Rusia diinapkan di Sarangan, Madiun. Saat itu, hanya tiga lanud yang bisa
menampung Tu-16, yaitu Lanud Halim Perdanakusuma, Iswahyudi Madiun, dan Polonia
Medan. Menurut Suwandi, orang-orang Rusia ini disiapkan untuk menghantam target
favorit kala itu, kapal induk Belanda Karel Doorman.
Sebagai mantan penerbang Tu-16 dengan rekor jam terbang terlama, tentu banyak
kisah yang dilalui Suwandi selama hampir sepuluh tahun bersama pesawat karya
sang maestro Andrei Tupolev. Suwandi sangat yakin, bahwa untuk jam terbang, dia
paling banyak di Tu-16. Mengingat dialah orang pertama yang menerbangkan Tu-16,
sekaligus mengakhiri penerbangan Tu-16 untuk selama-lamanya di Indonesia.
Jatuh di ladang tebu
Begitu tiba di Indonesia, Tu-16 segera disiapkan
menghadapi kampanye Trikora untuk merebut Irian Barat, walau urung dilaksanakan.
Lanud Morotai turut disiapkan jika perang memang pecah. Namun setidaknya,
keberanian awak Tu-16 pantas diacungkan jempol. Pernah ketika Armada ke-7 AL AS
yang berpangkalan di Hawaii melintas diperairan Indonesia, “Dengan beraninya
kita fly over di atas mereka,” aku Suwandi. Tindakan ini jelas sangat berisiko
tinggi. Apa jadinya kalau Armada ke-7 menembak jatuh waktu itu?
Dengan hadirnya Tu-16 dan puluhan pesawat Rusia
lainnya memperkuat AURI, benar-benar efektif dalam mendukung kedaulatan negara
saat itu. Boleh dikatakan, tidak satupun negara di kawasan ini “berani”
menggelitik Indonesia. Bagi Suwandi sendiri, selain bangga sebagai penerbang
Tu-16 karena terlibat dalam berbagai misi penting masa itu, juga tidak bisa
melupakan beberapa peristiwa selama aktif sebagai penerbang Tu-16.
Yang paling mencekam dan hampir merenggut
nyawanya adalah peristiwa tahun 1962, ketika pesawat yang diterbangkannya
mendarat darurat di kebun tebu rakyat di desa Geneng, Madiun, Jawa Timur.
Penerbangan nahas malam itu hingga merenggut nyawa dua orang krew, merupakan
bagian dari latihan terbang malam yang belum sempat diterima Suwandi di Rusia.
“Karena selama di Simferopol kita tidak sempat terbang malam,” jelas
Suwandi.
Malam itu, Bali ditetapkan sebagai daerah
latihan. Disimulasikan Bali disusupi musuh. Latihannya langsung di bawah
pengawasan instruktur Rusia. Ketika mesin pesawat dihidupkan, tidak ada
tanda-tanda kejanggalan. Panel-panel indikator di kokpit menunjukkan pesawat
dalam kondisi siap diterbangkan.
Pesawat sudah mengambil posisi di ujung landasan pacu, tinggal menunggu tanda
dari tower. Setelah tower memberi izin, Suwandi mendorong throttle untuk
mendapatkan tenaga penuh agar bisa lepas landas. Perlahan, pesawat mulai melaju
ke arah selatan dan sesaat kemudian kesepuluh rodanya mulai terangkat dari
permukaan landasan. Melihat selintas ke indikator lalu ke instrukturnya, Suwandi
mengacungkan ibu jari pertanda semua berjalan baik. Pada detik-detik menentukan
itu, ketika pesawat menjelang ujung landasan, mendadak satu mesin di sebelah
kanan mati. “Padahal kita mendekati ujung landasan dengan full speed,” tutur
Suwandi. Kalau dihentikan, jelas pesawat akan overshoot dan terjungkal ke dalam
jurang kecil yang menganga di ujung landasan.
Apa boleh buat, Suwandi dan instrukturnya harus
meneruskan sesuai prosedur. Dengan satu mesin pesawat terus naik, dan setelah
diskusi singkat dengan instrukturnya, mereka memutuskan kembali ke base (RTB).
Namun upaya menghidupkan kembali mesin yang mati, tetap dilakukan. Pesawat
berbelok, siap mendarat kembali. Celakanya, ketika sampai di down wind pada
ketinggian sekitar 800 meter, mesin kedua pesawat yang membawa bahan bakar 30
ton itu ikut-ikutan mati.
Menghadapi situasi genting seperti itu, Suwandi
berusaha tetap tenang. Mereka mempertahankan agar ketinggian pesawat tidak turun
secara drastis. “Mau loncat, pesawat terlalu rendah,” kata Suwandi. Akhirnya
instrukturnya memutuskan pesawat dipaksa masuk ke final (lintasan pada pola
pendaratan pesawat yang lurus ke landasan, di mana pesawat siap mendarat) agar
bisa mendarat secepat mungkin.
Tapi sudah tidak keburu. Pesawat stall dan jatuh menghujam kebun tebu
menjelang landasan. “Saya tidak tahu apa yang terjadi, karena begitu menghujam,
saya seperti sudah mati, tidak merasakan apa-apa lagi” akunya. Apakah pesawat
meluncur, Suwandi tidak bisa memastikan. “Beberapa detik sebelum jatuh, roda
saya turunkan, lalu dengan setengah berteriak saya perintahkan Lettu Geraldus
Ramba (second navigator-Red), fasten seat belt, turn off electrical system, lalu
saya rasakan benturan keras dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi,” tutur
Suwandi lagi.
Pesawat hancur berantakkan. Bagian depannya
(nose) lepas dari ruang kabin tengah, sementara ruang kabin tengah terpotong
dari ekor (tail) yang rupanya tertancap di tanah. Dengan kata lain, pesawat
Tu-16 itu terbelah menjadi tiga bagian. Di gelapnya malam itu, sulit mengetahui
secara pasti dimana hidung pesawat dan dimana bagian tengah pesawat. Untung
kebakaran tidak terjadi, karena sistem listrik sudah dimatikan.
Kerasnya benturan, membuat semua crew seperti batu yang dilontarkan dari
ketapel, terdorong ke depan. Kepala Geraldus sampai menyodok di antara pilot dan
kopilot. Posisi kepala pesawat yang miring ke kiri, menyulitkan Suwandi untuk
keluar. Dia terhimpit dan tidak bisa bergerak lagi. Lalu terdengar suara, “Ndi,
kon isih urip.” Suwandi tahu, yang bertanya Didi Pribadi, first navigator. “Aku
isih urip, mbok coba nggoleki bantuan neng jobo,” jawab Suwandi.
Sesaat kemudian, dia lihat kepala Geraldus di
sebelahnya. “Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas, karena gelap. Baru
kemudian saya tahu kepalanya tertutup lumpur. Lalu saya bersihkan agar bisa
bernapas,” kata Suwandi. Karena melihat instrukturnya terkulai tak berdaya,
Suwandi mencolek beberapa kali menggunakan kakinya. “Dia tidak beraksi, saya
yakini dia tewas.”
Ada peristiwa lucu di sini. Wahyudi, tail gunner,
mengira Suwandi meninggal. Jadi setelah keluar dari bagian ekor pesawat, dia
mencari-cari dan meraba-raba karena gelapnya malam. Yang bisa diketahuinya
secara pasti hanyalah bagian ekor pesawat, dimana dia on board. Dia tidak
melihat, bahwa bagian lain dari pesawat terpental jauh dari ekor. Yang
ditemukannya ekor pesawat nungging ke atas. Wahyudi bergumam, “Berarti badan
pesawat amblas ke dalam tanah.” Langsung saja dia mengambil sikap sempurna,
memberi hormat kepada pilotnya yang “gugur”.
Setelah memberi hormat secukupnya, dalam
kepanikkan yang luar biasa, Wahyudi pergi melenggang untuk pulang ke rumahnya di
Solo. “Kita ditinggal begitu saja,” papar Suwandi. Dalam rentang waktu yang
sulit diduga, first navigator Didi Pribadi berhasil pula keluar dari hidung
pesawat lewat pecahan yang menganga. Dalam kecelakaan malam itu, dua orang
langsung meninggal. Kopilot (Rusia) dan special operator Letda Yoga. Tak lama
berselang, penduduk setempat datang berbondong-bondong sambil membawa obor.
Terangnya cahaya obor menyadarkan semua orang, bahwa pesawat telah terbelah
menjadi tiga. Dengan sedikit susah payah karena terikat safety belt, mereka
keluarkan jenazah kopilot. Saking tidak percayanya Suwandi akan keajaiban yang
diberikan Tuhan kepadanya untuk masih bisa bernapas, dipegangnya (maaf)
kemaluannya. “Oh… masih ada,” tuturnya sambil tertawa.
Menurut penelitian yang dilakukan kala itu, jelas Suwandi, kecelakaan diduga
karena terjadinya pengendapan ganggang mikro di dalam tanki bahan bakar.
Ganggang ini, tambah Suwandi, berkembang biak di dalam molekul-molekul avtur.
Jumlahnya terus bertambah, karena ternyata ketika masuk ke filter menjelang ke
pembakaran (burner), ganggang justru membelah diri dan berkembang biak.
Sejak peristiwa itu, pemeriksaan selalu dilakukan sebelum Tu-16 terbang untuk
mendeteksi kadar ganggang dalam tanki dengan mencelupkan alat pendeteksi.
Kemungkinan lain munculnya ganggang menurut Suwandi, adalah cara penyulingan
yang kurang sempurna. Beberapa hari kemudian, reruntuhan bangkai pesawat di bawa
ke pangkalan dan ditempatkan di hanggar pemeliharaan. Didi Pribadi kaget alang
kepalang begitu melihat pesawat. Ternyata, lubang tempat dia meloloskan diri
teramat kecil untuk lelaki dewasa seperti dia bisa keluar. “Ajaib, sulit
dipercaya,” papar Suwandi.
20 mesin
Tu-16 terlibat penuh dalam kampanye Trikora dan
Dwikora. Hanya saja, Dwikora lebih banyak memberikan kesan kepada Suwandi.
Sebutlah suatu malam, Suwandi diperintahkan Komodor Leo Wattimena terbang di
atas Kuala Lumpur. “Leo yang memerintahkan, dia juga ikut,” aku Suwandi.
Skenarionya lebih kurang begini: Tu-16 terbang dari Medan dan akan show of force
di atas Kualalumpur. Untuk menipu radar lawan, pesawat Il-28 Beagle yang
diterbangkan Oloan Silalahi disuruh berputar-putar di atas Belawan. Tapi apa
yang terjadi. Baru saja pesawat memasuki wilayah udara Singapura, mendadak
seluruh lampu padam. Inggris yang mengetahui kedatangan bomber menakutkan itu,
langsung bertindak. Tu-16 di-jammed!
Kapten Suwandi yang sebenarnya belum diizinkan
terbang malam oleh Dan Wing 003 Letkol Suyitno, sempat kehilangan akal. Avionik
tidak berfungsi, sistem navigasi dibuat macet. Tapi tidak ada waktu lagi untuk
berdebat. Dia langsung memutar arah pesawat, dan segera mengontak lewat radio
tower Medan. Begitulah, lewat tuntunan radio dan kompas magnetik, dia menyusuri
“jalan” ke Medan hingga mendarat dengan selamat.
Sebagai pesawat pembom jarak jauh (strategic
bomber), pergerakkan Tu-16 sangat ketat. Penggunaan bom dan roketnya, konon
harus seizin presiden. Pola terbangnya tak pernah lepas dari intelligence,
surveillance, dan reconnaissance (ISR). Semisal diperintahkan stand by di Medan.
Dari Madiun, pesawat akan terbang 100 kilometer dari batas pantai selatan ke
arah barat. Tak jarang pula, mereka “bermain” hingga mencapai Pulau Andaman
sebuah pulau kecil di Teluk Bengal yang memisahkan India dan Myanmar.
Presiden Soekarno yang menyadari kebesaran AURI, tak jarang memanfaatkan AURI
untuk mempertegas kedaulatan negara. Kalau bertepatan Hari Kemerdekaan, puluhan
pesawat mulai dari pemburu, pembom, angkut, dan latih, melintas seperti menutupi
langit Istana Merdeka. Juga bertepatan Hari ABRI (sekarang TNI-Red) di
Kemayoran. Hal yang sama juga diminta Soekarno setelah Irian Barat kembali ke
pangkuan RI.
Tapi dengan meletusnya gerakan militer yang
berupaya menjatuhkan pemerintahan berkuasa pada tanggal 30 September 1965 yang
akhirnya berhasil ditumpas TNI, membawa dampak sangat besar buat AURI. Hubungan
diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur menjadi putus. Bagi AURI berarti
hilangnya sumber utama pemasok suku cadang. Alhasil, secara perlahan-lahan
kesiapan pesawat-pesawat negara Timur ini mulai menurun. “Dalam setahun paling
hanya 12 kali terbang,” jelas Suwandi
Kanibalisasi tidak bisa dielakkan, untuk mempertahankan agar sejumlah pesawat
tetap terbang. Sampai akhirnya pada suatu hari di bulan Oktober 1970, dilakukan
test flight Tu-16 registrasi M-1625 setelah dikanibal habis-habisan. Itupun
tidak segampang yang dibayangkan, karena suku cadang pesawat yang satu belum
tentu cocok dipasangkan ke pesawat yang lain. Aneh, memang. Tapi menurut Marsda
(Pur) Subagyo, Komandan Wing Logistik 040 saat itu, mesinnya masih banyak. “Saat
itu ada 20 mesin baru, tapi hanya mesin, suku cadang yang lain tidak ada,” jelas
Subagyo.
Maka hari itu, Komandan Wing 003 merangkap
Komandan Skadron 41 Letkol Suwandi (pilot), Kapten Udara Rahmat Somadinata
(kopilot), dan Kapten Nav. Beny Subyanto (first navigator), menerbangkan M-1625.
Yang paling menyentuh pada hari itu, M-1625 merupakan satu-satunya dari sekian
puluh pesawat Tu-16 yang tersisa dalam kondisi siap terbang.
M-1625 terbang dengan baik hingga ketinggian
4.000 kaki di atas landasan. Hari itu, selain mereka rayakan dengan kembali
terbangnya Tu-16 setelah disiapkan sekian lama, juga hari pertama para penerbang
menerima uang wing.
Untuk kedua kalinya, Suwandi kembali diuji. Di
ketinggian 4.000 kaki di atas landasan, kedua mesin mati berbarengan. Sebagai
penerbang senior, Suwandi bertindak tenang. Tanpa memperlihatkan kepanikkan,
pesawat diarahkannya ke landasan sambil memanfaatkan daya luncur pesawat.
Landing gear diturunkan, dan begitu roda-roda menjejak landasan Suwandi segera
melepaskan brake chute. Pesawat terhenti di ujung landasan.
Lalu apa? “Sejak hari itu, semua Tu-16 saya
grounded,” kata Suwandi. Agar para penerbang tidak nganggur, mereka disalurkan
ke Skadron Angkut, Merpati, dan Garuda. “Termasuk Lettu Surendro (suami Megawati
Soekarno Putri, saat itu, yang kemudian gugur ketika menerbangkan Sky-
van-Red),” tambah Suwandi. Sebelum keputusan politik men-scrapped Tu-16 keluar
sebagai syarat memperoleh F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari Amerika, sekian lama
pembom Tu-16 sempat dijejer di pinggir landasan Iswahjudi, Madiun, tanpa
“penunggu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar