'WILUJENG SUMPING'

Riung mungpulung Urang Sindangsari
Silih Asah Silih Asih Silih Asuh

Rabu, 09 November 2011

Dyah Pitaloka : Senja di Langit Majapahit



Di negeri ini, perempuan hanyalah sosok tanpa nama….....
Tragedi masa silam kerap dijadikan sentimen antar kesukuan kadang seperti tak ada habisnya, meskipun hal tersebut tak pernah dipikirkan namun selalu muncul meskipun hanya sebatas gurauan pengakrab obrolan di warung kopi yang tidak tersedia goreng sampeu, comro ataupun bala-bala, tapi nama-nama makanan dan minuman asing dengan layanan bergengsi akses nirkabel. Obrolan akrab sering tak jauh dari saling mencela, karena keakraban pula celaan sentimen antar kesukuan tidak pernah dianggap sebagai hinaan. Sentimen terbesar suku Sunda dan Jawa yang paling sering saya dengar dan selalu berujung pada kisah Palagan Bubat. Dari banyak teman dan sahabat berbagai suku, saya lihat 68% orang Sunda memang paling humoris, seperti sudah ditakdirkan orang Sunda hidup dengan banyak tersenyum dan tertawa. Ah, tapi bukan hal ini yang akan saya bahas.
Dyah Pitaloka
Aku ingin menjadi Dyah Pitaloka yang menolak pasrah pada nasib. Aku ingin menentukan sendiri untuk menjadi diriku sendiri.
Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi adalah putri Maharaja Linggabuana yang memimpin Kerajaan Sunda-Galuh di abad ke-14. Seperti yang pernah saya tulis Kerajaan Sunda memang selalu berpindah-pindah ibukota. Di saat Majapahit mulai menyatukan Nusantara, ibukota Sunda-Galuh menempati Kawali, Ciamis. Jauh sebelum kisah tragis Palagan Bubat terjadi Sunda dan Jawa adalah saudara sedarah, Raden Wijaya pendiri Majapahit adalah keturunan raja-raja Pajajaran. Kisah tragis tersebut intinya adalah Hayam Wuruk meminang Dyah Pitaloka dan prosesnya bersinggungan dengan ambisi dan sumpah Amukti Palapa sang Mahapatih Gajah Mada hingga Maharaja Linggabuana melanggar tatakrama adat proses pernikahan dan Gajah Mada memaksakan sumpahnya bahwa Dyah Pitaloka adalah upeti yang harus diserahkan kepada rajanya.

Tak banyak saya mendengar cerita tragis Palagan Bubat secara lebih rinci, juga saya pun tak pernah membaca Kidung Sundayana yang dibuat untuk mengabadikan kisah tersebut. Hermawan Aksan melalui penerbit Bentang Pustaka menuturkan kisah tersebut dalam novel fiksi sejarah berjudul Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit dalam buku kecil setebal 321 halaman.

Hermawan Aksan mengangkat sisi pemikiran perempuan Sunda masa lalu. Elaborasi pola pikir perempuan tersebut tentunya didasari atas tindakan bunuh diri Dyah Pitaloka bersama ketiga dayangnya, bukan sebuah tindakan kekonyolan ketika menyangkut sebuah harga diri, harga diri perempuan sekaligus harga diri negeri Sunda.

Memang tragis ketika utusan Kerajaan Sunda yang berjumlah 93 orang dibantai habis pasukan Majapahit di Tegal Bubat yang juga mengakibatkan 1.274 prajurit Majapahit tewas. Cukup membuat kita terhenyak melihat jauhnya proporsi, terlebih terhadap tingginya semangat bela pati, harga diri dibayar dengan nyawa.
Apa yang menarik dari buku fiksi sejarah ini adalah Hermawan Aksan mengangkat pengembangan karakter tokoh sentral Dyah Pitaloka seperti bagaimana ia sebagai putri kerajaan berpikir dan bersikap, dialog-dialog dalam paradigma jaman tersebut serta penggambaran setting yang cukup detil seperti pada buku Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, tak lupa yang cukup membuat rumit adalah banyaknya nama-nama Sanskrit keluarga kerajaan yang panjang-panjang.

Tragedi Palagan Bubat tersebut juga menjadi tagline seorang perempuan Sunda Ciamis, The Sundanese Tragedy, yang katanya mengaku masih satu kerabat dengan Dyah Pitaloka sebagai galur murni keturunan Kawali.

Entah sampai kapan di tatar Sunda tidak akan ada nama bangunan atau jalan untuk mengabadikan nama Majapahit, Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Mungkin selama sentimen itu tetap ada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biodata Kang Agil

Arsip Blog

Wadya Balad