Di negeri ini, perempuan hanyalah sosok tanpa nama….....
Tragedi masa silam kerap dijadikan sentimen antar kesukuan kadang seperti tak
ada habisnya, meskipun hal tersebut tak pernah dipikirkan namun selalu muncul
meskipun hanya sebatas gurauan pengakrab obrolan di warung kopi yang tidak
tersedia goreng sampeu, comro ataupun bala-bala, tapi nama-nama makanan dan minuman asing
dengan layanan bergengsi akses nirkabel. Obrolan akrab sering tak jauh dari
saling mencela, karena keakraban pula celaan sentimen antar kesukuan tidak
pernah dianggap sebagai hinaan. Sentimen terbesar suku Sunda dan Jawa yang
paling sering saya dengar dan selalu berujung pada kisah Palagan Bubat. Dari
banyak teman dan sahabat berbagai suku, saya lihat 68% orang Sunda memang paling
humoris, seperti sudah ditakdirkan orang Sunda hidup dengan banyak tersenyum dan
tertawa. Ah, tapi bukan hal ini yang akan saya bahas.
Aku ingin menjadi Dyah Pitaloka yang menolak pasrah pada nasib. Aku ingin menentukan sendiri untuk menjadi diriku sendiri.
Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi adalah putri Maharaja Linggabuana yang
memimpin Kerajaan Sunda-Galuh di abad ke-14. Seperti yang pernah saya tulis Kerajaan Sunda memang selalu berpindah-pindah ibukota.
Di saat Majapahit mulai menyatukan Nusantara, ibukota Sunda-Galuh menempati
Kawali, Ciamis. Jauh sebelum kisah tragis Palagan Bubat terjadi Sunda dan Jawa
adalah saudara sedarah, Raden Wijaya pendiri Majapahit adalah keturunan
raja-raja Pajajaran. Kisah tragis tersebut intinya adalah Hayam Wuruk meminang
Dyah Pitaloka dan prosesnya bersinggungan dengan ambisi dan sumpah Amukti Palapa
sang Mahapatih Gajah Mada hingga Maharaja Linggabuana melanggar tatakrama adat
proses pernikahan dan Gajah Mada memaksakan sumpahnya bahwa Dyah Pitaloka adalah
upeti yang harus diserahkan kepada rajanya.
Tak banyak saya mendengar cerita tragis Palagan Bubat secara lebih rinci,
juga saya pun tak pernah membaca Kidung Sundayana yang dibuat untuk mengabadikan
kisah tersebut. Hermawan Aksan melalui penerbit Bentang Pustaka menuturkan kisah
tersebut dalam novel fiksi sejarah berjudul Dyah
Pitaloka: Senja di Langit Majapahit dalam buku kecil setebal 321
halaman.
Hermawan Aksan mengangkat sisi pemikiran perempuan Sunda masa lalu. Elaborasi
pola pikir perempuan tersebut tentunya didasari atas tindakan bunuh diri Dyah
Pitaloka bersama ketiga dayangnya, bukan sebuah tindakan kekonyolan ketika
menyangkut sebuah harga diri, harga diri perempuan sekaligus harga diri negeri
Sunda.
Memang tragis ketika utusan Kerajaan Sunda yang berjumlah 93 orang dibantai
habis pasukan Majapahit di Tegal Bubat yang juga mengakibatkan 1.274 prajurit
Majapahit tewas. Cukup membuat kita terhenyak melihat jauhnya proporsi, terlebih
terhadap tingginya semangat bela pati, harga diri dibayar dengan nyawa.
Apa yang menarik dari buku fiksi sejarah ini adalah Hermawan Aksan mengangkat
pengembangan karakter tokoh sentral Dyah Pitaloka seperti bagaimana ia sebagai
putri kerajaan berpikir dan bersikap, dialog-dialog dalam paradigma jaman
tersebut serta penggambaran setting yang cukup detil seperti pada buku Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi, tak lupa
yang cukup membuat rumit adalah banyaknya nama-nama Sanskrit keluarga kerajaan
yang panjang-panjang.
Tragedi Palagan Bubat tersebut juga menjadi tagline seorang perempuan Sunda
Ciamis, The Sundanese Tragedy, yang katanya mengaku masih satu
kerabat dengan Dyah Pitaloka sebagai galur murni keturunan Kawali.
Entah sampai kapan di tatar Sunda tidak akan ada nama bangunan atau jalan
untuk mengabadikan nama Majapahit, Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Mungkin selama
sentimen itu tetap ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar