'WILUJENG SUMPING'

Riung mungpulung Urang Sindangsari
Silih Asah Silih Asih Silih Asuh

Minggu, 13 November 2011

Padepokan Pencak Silat Panglipur Cibatu Garut




Ibu (Mamih) R. Enny Rukmini Sekarningrat Sesepuh/Guru Besar Pencak Silat Panglipur
wafat 17 Juni 2011 jam 01:00.WIB

Pada Maret 1949, ketika penjajah Belanda datang kembali lagi untuk mengebom Yogyakarta, Enny Rukmini bergabung dengan batalion Pangeran Papak dan berjuang melawan Belanda di Kabupaten Garut Wanaraja dan. Untuk mempertahankan ibu kota Yogyakarta ia bergabung dengan long march dari Garut ke Yogyakarta (sekitar 400 km.) Dengan Batalyon Mayor Rukman. Karena senjata yang terbatas dan lagi pula dia tidak tahu bagaimana menggunakannya, ia puas dengan menggunakan pedang (Golok) dalam kombinasi dengan jurus pencak silat dan ilmu kebal sebagai senjata di medan perang. Setelah perang usai, ia kembali rumah di Garut dan mengambil alih dari ayahnya yang Perguruan pencak silat Panglipur. Dia kemudian pergi ke Bandung untuk membawa bersama-sama para mahasiswa ayahnya dan mulai untuk melatih pencak silat bersama-sama. Pelatihan pertama di rumahnya, di sebuah jalan kecil masih disebut Gang Panglipur untuk menghormati sekolah ini pencak silat penting. Sejak saat itu Ibu Enny Rukmini Sekarningrat membangun kembali Pencak Silat Panglipur Perguron dan lebih umum pencak silat di Jawa Barat bersama-sama dengan pendekar lain seperti Pak Uca, Pak Uho, Haji Sapari, dan M. Saleh. Dia berperan dalam mempromosikan pencak silat di sekolah-sekolah dan universitas dan sangat maju pencak silat seni (seni). Dia adalah yang pertama untuk secara drastis reformasi pencak silat seni dan menggunakannya sebagai bentuk kinerja, dengan mengubah kostum pencak silat hitam dengan glamor seragam warna-warna cerah. Ide-ide inovatif nya sering menimbulkan kritik dari kelompok-kelompok yang lebih konservatif, tapi akhirnya mendapat pengakuan resmi pada tahun 1953 ketika kelompok itu tampil di 1st Asia-Afrika Konferensi di Bandung. Ibu Enny juga yang pertama untuk mendukung IPSI dalam mengembangkan kompetisi dari pencak silat seni. Pada saat ini, dia adalah salah satu 'sesepuh' (sesepuh) dari IPSI dan diakui sebagai pendekar terkemuka atau Guru Besar dari nama Pencak Silat Panglipur Himpunan , yang pencak silat terbesar sekolah di Jawa Barat. Pada 85 tahun dia masih benar-benar dikhususkan untuk pengembangan pencak silat di Jawa Barat dan lebih umum dunia

14 Februari 2011


Pendekar Wanita Empat Zaman



Ibu Rd Hj Enny Rukmini Sekarningrat
Nama Rd. Enny Rukmini Sekarningrat (96 tahun) cukup terkenal dikalangan masyarakat luas terutama bagi mereka yang mencintai seni beladiri pencak silat. Bahkan namanya pun telah tercatat di PB IPSI sebagai Dewan Pakar Pencak Silat Nasional, sehingga tidaklah mengherankan apabila namanya sudah terkenal sampai ke peringkat antara bangsa. Beliau merupakan Guru Utama bagi pencak silat Panglipur dan juga seorang yang peramah, baik, sopan, dan rendah hati.


Menjadi seorang guru dan pemimpin pencak silat dapat dikatakan cukup berat, di samping harus menguasai jurus-jurus dan teknik-teknik seni beladiri pencak silat yang mantap, tubuh yang lasak, serta mental yang kuat tentunya dan juga harus lengkap dalam memahami falsafah seni beladiri pencak silat secara mendalam, seperti yang pernah dialami Rd. Enny Rukmini Sekarningrat, pakar pencak silat dan pejuang wanita empat zaman, puteri Abah Aleh (1856-1980)- pendiri Panglipur. Abah Aleh adalah seorang maestro seni beladiri pencak silat yang mampu menggabungkan aliran-aliran pencak silat menjadi jurus Panglipur yang indah, mantap, efektif, dan praktis untuk membela diri.



Panggilannya pendek saja, boleh dipanggil Ibu atau Ibu Enny, tapi umumnya para pesilat di lingkungan Himpunan Pencak Silat Panglipur memanggilnya "mamih". Sebutan terakhir ini merupakan kebiasaan pesilat Panglipur yang sudah dekat dengannya. Pernah ada yang menanyakan kepada beliau, "apakah betul Ibu ada keturunan Belanda?" Beliau menafikannya: "Saya jawab, tidak, dan memang sebenarnya saya bukan keturunan orang Belanda, tuturnya. Bahkan pertanyaannya tidak cukup sampai di situ saja, kadang-kadang mereka suka meneruskan dengan pertanyaan lain, Ah masa, buktinya raut muka Ibu mirip Indo? Mendengar pertanyaan seperti itu saya hanya tersenyum, mungkin karena saya cukup lama bersama-sama dengan orang Belanda, ketika masih sekolah di Zending School. Tidak heran apabila saya terpengaruh oleh kebiasaan orang Belanda, dan kebetulan kulit saya putih, sehingga orang menyangka bahwa saya mirip orang bule. Padahal saya tidak ada keturunan Indo, ayah saya Abah Aleh keturunan Banten dan Ibu saya Ma Uki asli orang Garut."

Masa Perjuangan

Sejak kecil Ibu Enny sudah menyenangi kesenian daerah dan bahkan pernah belajar tari sunda, termasuk belajar pencak silat hanya tidak sungguh-sungguh dan tidak mendalaminya, cukup asal boleh saja. Setelah meningkat usia remaja malah senang belajar menari iaitu sejenis tarian yang gemar diperagakan oleh remaja-remaja dari Barat (orang asing). Walaupun demikian, ayahnya tidak melarang mempelajari tarian, apalagi sampai mempunyai murid mahasiswa, kerana kebetulan waktu itu banyak mahasiswa-mahasiswa yang menyewa di rumah, sehingga kesenangan pada tarian semakin kuat.

Puteri pasangan Abah Aleh (pendiri Panglipur) dan Ma Uki, yang dilahirkan di Gg. Durman Bandung pada 17 Agustus 1915 ini, dalam usia 12 tahun sudah berumah tangga. Mungkin Abah Aleh merasa khawatir mengenangkan situasi waktu itu kurang aman. Pertama beliau menikah dengan seorang pemuda bernama Nandung, mempunyai satu anak bernama Etty Sumartini dan mempunyai 12 cucu  dan tinggal di Jakarta. Abah Aleh mengharapkan puterinya itu menjadi seorang isteri yang berpengetahuan, sehingga Abah Aleh mengizinkannya untuk melanjutkan pelajaran. Setelah tamat dari Zending School diteruskan ke Darul Mualim 6 tahun, sekitar tahun 1946 keluar dari Darul Mualim sempat menjadi Guru Agama di bawah pimpinan Ajengan Toha dan Rachmat Sulaeman, mengajar di Madrasah Al Balah dan di Madrasatul Choeriah di Gg Affandi Braga Bandung. Tidak lama setelah itu suami tercinta meninggal dunia. Lalu menikah dengan Lurah Cimahi, tidak lama meninggal dunia juga. Kemudian menikah untuk ketiga kalinya dengan seorang pejuang kemerdekaan bernama Bunjali, kebetulan beliau seorang tokoh silat sehingga Abah Aleh sangat senang kepadanya, mungkin kerana nasib, tidak lama setelah itu Bunjali ditangkap oleh Belanda ketika sedang pengajian (mengajar membaca Al Qur’an). Ibu Enny sempat mencari suami mudah-mudahan dapat bertemu lagi, lalu ikut menggabungkan diri sebagai wanita pejuang dengan pasukan Pangeran Papak di Wanaraja Garut, di bawah pimpinan Mayor Kosasih. Nama Sekarningrat juga diberi oleh Laskar Pangeran Papak. 

Berkat kesabaran dan ketabahan hati, akhirnya ia bertemu juga dengan suami tercinta, sehingga waktu itu dapat bersama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tidak lama setelah itu masing-masing mendapat tugas, ia ditugaskan ke Ciniru dan suaminya ditugaskan ke Cipakem Kuningan Ternyata setelah kembali dari tugas, “suami saya meninggal dunia saat berjuang. Hati saya begitu sedih, mungkin sudah nasib dan saya menyadari bahwa ini merupakan takdir Allah SWT”, tuturnya.

Pada tahun 1947, ibu Enny bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Letkol Abimanyu dan Mayor U. Rukman sampai hijrah ke Yogya dan di sana bertemu dengan seorang perwira TNI bernama Tabrani, ketika itu ia masih berpangkat kapten, lalu kembali ke Jawa Barat dan berhenti sebagai pejuang, dan akhirnya kembali ke masyarakat. Tahun 1950, pengembaraan di hutan belantara berakhir dengan turunnya para pengungsi ke kota Bandung, yang sebelumnya berjuang memakai senjata, namun sekarang perjuangan itu dilakukan dalam bentuk lain. “Kemudian saya menikah dengan Kapten Tabrani dan mempunyai anak lelaki bernama Djadja Widjayakusumah. Waktu itu pimpinan Panglipur oleh Abah Aleh dipercayakan kepada abang ibu Enny, Letnan AURI Udi. Lalu untuk mengenang masa perjuangan, ia mencoba membuat drama pencak silat yang menceritakan perjuangannya dengan suami dari mulai awal pertemuan sampai selesai. Penulisan naskah, skenario, dan sutradara diatur oleh ibu Enny. Waktu sedang latihan, saya berusaha untuk tegar dan kuat tetapi ternyata dalam pelaksanaannya saya tidak kuasa menahan rasa sedih dan merasa tidak kuat sampai saya jatuh pingsan”, tuturnya.

Sekitar tahun lima puluhan, Letnan AURI Udi yang diamanahkan oleh Abah Aleh untuk mengurus perguruan pencak silat Panglipur, meninggal dunia. Kemudian Abah Aleh memanggilnya dan berkata, “Eneng, sabada Kang Udi pupus, taya deui nu kato'ong ku Abah pikeun neraskeun jadi sesepuh paguron teh iwal ti Eneng, saurna lemah lembut. (Neng, setelah Kak Udi meninggal dunia, tidak ada lagi yang terlihat oleh Abah yang mampu meneruskan menjadi pemimpin perguruan pencak silat panglipur, hanya Enny, katanya serius)”. “Ketika mendengar ucapan seperti itu, hati saya merasa kaget bercampur bingung”, tuturnya, “kerana saya merasa belum mendalami sungguh-sungguh tentang masalah pencak silat, dan putra-putri Abah Aleh itu ada empat orang termasuk saya, Kak Udi, Kak Eyon, dan Kak Dati. Saya tidak mengerti mengapa Abah Aleh memilih saya untuk menggantikannya. Setelah berfikir panjang timbul perasaan dalam hati saya, mungkin Abah Aleh merasa yakin bahwa saya mempunyai kemampuan untuk menjalankannya, sehingga saya tidak bisa menolaknya”, tuturnya tegas. Ternyata ibu berparas cantik ini dulunya tergolong anak yang taat dan patuh kepada orang tua, rasa hormat kepada kedua orang tua sudah tertanam sejak ia masih kecil, jangankan menolak keinginan orang tua, dimarahi dengan tidak merasa bersalahpun beliau tidak berani membantahnya apalagi sampai melawan pada orang tua. Akhirnya tawaran itu dia terima dengan lapang dada.

Memimpin Pencak Silat Panglipur

Pada tahun 1950, Abah Aleh secara rasmi menyerahkan tampuk pimpinan Panglipur kepada Ibu Enny, sebagai pewaris yang diangggap mampu memimpin Panglipur, demi perkembangan dan kemajuan Panglipur di masa yang akan datang. Walaupun anggapannya masih mentah dalam masalah persilatan, namun Ibu Enny berusaha sekuat tenaga untuk memimpin panglipur bersama-sama dengan para tokoh Panglipur yang lain.

“Ketika memperhatikan Abah Aleh sedang melatih pencak silat, saya suka bertanya, kenapa jurus-jurus Panglipur suka diberi nombor, dan semuanya tidak dibeda-bedakan, alangkah baiknya setiap tingkatan dibeda-bedakan”, katanya memberi pertanyaan pada Abah Aleh.

“Untuk ciri khas Panglipur, supaya ada keseragaman, katanya sambil tersenyum. Buktinya terasa oleh saya, ketika melatih 1600 pesilat untuk menyambut Konperensi Asia Afrika tahun 1955. Dengan gerakan yang sudah diseragamkan sehingga tidak sulit untuk melatihnya”, tuturnya. Ibu Enny merasa kagum kepada Abah Aleh yang mampu menyeragamkan gerakan yang begitu rumit dan bermacam-macam.

Ada yang bertanya, Apakah silat dari Abah Aleh diiringi dengan ilmu tenaga dalam? “Saya menjawab tidak, karena memang saya tidak belajar ilmu tenaga dalam, paling juga saya suka tarikat. Saya pernah mengalami dikurung di dalam kamar oleh Abah Aleh selama tiga hari tiga malam, selama di dalam kamar itu hanya disediakan sepiring kentang rebus dan segelas air putih. Oleh kerana itu, tidak heran apabila saya makan hanya dua hari sekali atau tiga hari sekali” ujarnya lagi.

“Pernah ada kejadian aneh waktu saya berumur 40 tahun tiba-tiba gigi saya merasa ngilu dan seolah-olah terasa menjadi panjang, kemudian diperiksa ke dokter katanya tidak ada penyakit. Malam Jumaat ternyata gigi saya rontok semua sehingga sampai sekarang gigi saya menjadi ompong. Saya tidak mempunyai fikiran yang bukan-bukan, atau mempunyai sangkaan negatif terhadap orang lain, mungkin gigi saya rontok itu disebabkan oleh penyakit”, katanya.

Sejak berdirinya PPSI di Jawa Barat pada tahun 1957, di bawah pimpinan Pangdam Siliwangi, Jendral Kosasih, Ibu Enny berusaha sekuat tenaga mengembangkan seni beladiri pencak silat. Namun dalam pelaksanaannya tidak semudah apa yang kita bayangkan, sebab waktu itu bantuan dari pemerintah maupun dari masyarakat belum mampu diandalkan. Apalagi yang namanya pencak silat, setiap orang banyak yang ingin memiliki kepandaian ini, tapi sedikit sekali yang mau mengeluarkan uang atau dana untuk itu. Walaupun demikian, Rd. Enny Rukmini Sekarningrat dan kawan-kawan seperguruan seperti Rd. H. Adang Mohammad Moesa (alm), Harun (alm), Tarmedi (alm), Kol. H. MSTA. Jhonny (alm), M. Umbit (alm), Bakri, Udi, dan yang lainnya berjuang untuk melestarikan seni beladiri pencak silat, khususnya Panglipur sebagai warisan Abah Aleh yang sebelumnya telah berjuang tanpa kenal arti jemu dan lelah. Dan terbukti Panglipur telah diakui oleh pemerintah sebagai organisasi yang terdaftar sebagai anggota PPSI maupun IPSI.

Di kota Bandung saja waktu itu sudah ada lima cabang panglipur, antara lain cabang Bandung Barat diketuai oleh H. Basuni (alm), Pagarsih diketuai oleh Abah Bakri (alm), Ciwidey diketuai oleh Lurah Prawira (alm), Babakan Jati diketuai oleh H. Basuki (alm), Lembang diketuai oleh Aki Tarmedi (alm), dan Buah Batu diketuai oleh Abah Soma (alm), Kopo diketuai oleh Bah Omi, Oyi, dan Bah Udi, serta banyak lagi tokoh-tokoh yang lainnya. Cabang-cabang Panglipur di luar Bandung, antara lain Majalengka, Talaga, Kuningan, Garut, Cianjur. Semua cabang-cabang tersebut harus berada dalam pengawasan Panglipur Pusat yang dipimpin olehnya. Sampai detik ini Panglipur terus berkembang dengan pesat, baik di dalam maupun di luar negeri.

Aktivitas
Di samping sebagai seorang pimpinan Panglipur, ternyata Rd. Enny Rukmini Sekarningrat, temasuk juga sebagai seorang guru silat atau pelatih yang aktif, ia pernah melatih anggota tentara Rindam VI Siliwangi, Kompi Protokol Pimpinan Kapten. H. MSTA. Jhonny (alm, terakhir berpangkat Kolonel), melatih anggota tentara BDI II Siliwangi Pangalengan pimpinan Letkol. Suryamin, melatih pemuda-pemuda putus sekolah, pernah melatih di SMP, SMA, SPG dan Mahasiswa, serta siswa-siswa Dodiklat Polri dan anak-anak CPM di Cimahi, melatih orang-orang asing yang sengaja datang untuk berguru di Panglipur. Bahkan pernah mendirikan organisasi tukang becak yang diberi nama Himpunan Pengendara Becak Indonesia (HPBI), kemudian tukang Becak tersebut dikursuskan pula dengan setir mobil sampai mereka, menjadi pemandu Bemo di Cicendo Bandung.

Disela-sela latihan beliau sering diberi nasihat oleh Abah Aleh, berupa amanat yang diberikan kepadanya antara lain, “Eneng, boh dina hirup, boh dina penca, teangan pikaresepeun batur, ulah neangan pikangewaeun batur, saurna. (Neng, dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam penca, harus selalu mencari yang membuat orang senang (menyenangkan orang lain) bukan sebaliknya mencari sesuatu yang membuat orang tidak suka atau tidak disukai oleh orang lain, katanya)”. Sesuai dengan falsafah Panglipur yang merupakan singkatan dari:

1. Pek Aranjeun Neangan Guru Luhung Ilmuna, Poma Ulah Ria (Takabur). 
Artinya dalam bahasa Indonesia : Silakan kalian mencari guru yang tinggi ilmunya, tetapi jangan sombong (takabur). 
2. Pek Aranjeun Neangan Guru Luhung Ilmuna Pikeun Udageun Rasa. 
Artinya dalam bahasa Indonesia : Silakan kalian mencari guru yang tinggi ilmunya untuk mengejar rasa. 


Memimpin Tim Galih Pakuan Jawa Barat

Ada pengalaman yang menarik selama ibu Enny memimpin Panglipur, ketika membawa rombongan Panglipur ke Singapura pada tahun 1980, dengan H. Suhari Sapari (Ketua IPSI/PPSI) Jawa Barat. Ketika mengadakan pementasan di Singapura, setelah sampai di lokasi baru teringat bahwa alat yang akan dipakai untuk peragaan tertinggal di penginapan, padahal waktu untuk pementasan tinggal beberapa minit saja lagi. “Saat itu tiba-tiba saya teringat pada sobrah (sejenis rambut wanita yang panjang, digunakan untuk sanggul) yang dapat mengganti alat yang tertinggal tadi. Ternyata pementasan tersebut mampu memukau penonton dan mereka merasa puas, orang menyangka bahwa sobrah itu merupakan kreasi baru”, katanya sambil tersenyum. Selanjutnya ia mengingatkan, “Oleh karana itu, peralatan atau senjata yang dipakai untuk pencak silat itu bukan hanya Golok, Gobang (Pedang), Trisula, Toya, Alu (halu), Tongkat, Limbuhan (sejenis senjata pendek) yang boleh digunakan dalam peragaan, sobrah pun boleh dipakai untuk demo. Jadi harus kreatif apabila kebetulan alat-alat tersebut ketinggalan atau hilang. Bahkan tali rafiapun mampu dipakai sebagai alat membela diri”, tuturnya lagi.

Selanjutnya beliau menyentuh tentang masalah pakaian pencak silat, yang tidak lepas dari perhatiannya. “Pesilat umumnya mempergunakan pakaian warna hitam, tetapi untuk keperluan pentas tidak selalu harus hitam, warna lain pun boleh dipakai, disesuaikan dengan ibing yang akan ditampilkan, supaya anak-anak kelihatan cantik, indah, dan tidak memalukan. Pakaian ini saya pakai ketika Panglipur ditunjuk sebagai anggota Galih Pakuan Jawa Barat oleh Gubernur H. Aang Kunaefi (alm) dari tahun 1978 sampai tahun 1985, antara lain ketika menyambut Konperensi Asia Afrika (1985), Parasamya Purna Karya Nugraha, dan sebagainya. Selama menjadi Tim Protokoler Jawa Barat (Galih Pakuan Jawa Barat), Panglipur telah puluhan kali mentas di Istana Bogor, bersama-sama dengan kesenian lain seperti Tari, Dogdog Lojor, Sisingaan, Buncis, Jaipongan, dan lain-lain di bawah pimpinan Enoh Atmadibrata, Nugraha, Indrawati Lukman, Yeti Mamat, Irawati Durban, Gugum Gumbira, Tati Saleh, dan seniman sunda yang lainnya”, tutur tokoh yang pandai merias pengantin ini, “Bahkan saya pernah mencoba menampilkan ibing pencak silat dengan pakaian kebaya ternyata berhasil dan dapat diterima oleh masyarakat pencak silat sebagai pementasan yang baik dan indah, tanpa mengurangi nilai-nilai dan kaedah seni beladiri pencak silat yang sebenarnya. Maksudnya yaitu dalam keadaan apapun, seorang pesilat tidak harus selalu memakai seragam silat, khususnya bagi seorang perempuan memakai pakaian kebayapun bisa membela diri dan menampilkan gerakan silat dengan baik”, ungkapnya lagi.

Ibu yang satu ini ternyata tergolong tegas dalam menerapkan disiplin di Panglipur, misalnya antara murid lelaki dan murid perempuan di perguruan harus seperti abang dan adik, saling melindungi, saling menyayangi, dan saling membantu apabila masing-masing mempunyai kesulitan.” Saya tidak memberikan izin ada hubungan lebih dari saudara seperguruan, apalagi sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Saya memperbolehkan murid perempuan menikah dengan dengan murid lelaki seperguruan asal benar-benar mampu membangunkan rumah tangga dengan baik dan benar-benar sesuai dengan ajaran Agama Islam. Alhamdulillah, peraturan ini sampai sekarang belum ada yang melanggarnya, apalagi sampai menimbulkan retaknya hubungan kekeluargaan di Panglipur”, tuturnya serius.

Tahun 1997, Rd. Enny Rukmini Sekarningrat dan Rd. H. Adang Mohammad Moesa ditugaskan oleh PB IPSI berangkat ke Malaysia sebagai tokoh dan pakar pencak silat Jawa Barat, selanjutnya berangkat lagi dengan E. Kusnadi ke Trengganu, Malaysia sebagai peninjau pada Kejuaraan Pencak Silat Nusantara.

Sebagai tokoh dan pakar pencak silat, sikap pergaulannya yang baik ternyata mampu membawa Panglipur menembus pergaulan pencak silat antar bangsa sehingga dikenal di kalangan pakar-pakar pencak silat mancanegara. Selain itu, ia telah berhasil membawa Panglipur sebagai perguruan pencak silat yang mampu mempertahankan keasliannya.


Selama lebih 100 tahun (1909-hingga sekarang) Panglipur telah dipelajari oleh pecinta pencak silat dari dalam maupun luar negeri, seperti Asia, Eropa, dan Amerika. Dari waktu ke waktu Panglipur tetap berprestasi dan berdedikasi, Panglipur tidak pernah ketinggalan dalam mengikuti kejuaraan-kejuaraan yang resmi yang diselenggarakan oleh Pengda IPSI maupun PB IPSI, baik di tingkat Nasional maupun Internasional. 



“Alhamdulillah selama saya memimpin perguruan pencak silat Panglipur, rasanya murid-murid Panglipur belum pernah ada yang mengecewakan, bahkan cabang-cabang Panglipur terus bertambah dan berkembang sampai ke mancanegara, antara lain Belanda, Amerika, Austria, dan lain sebagainya”, tuturnya kepuasan.ada sosok nenek ini. Tua, ringkih, dan terkesan sudah tak bertenaga. Namun, jangan salah sangka nama perempuan tua itu sudah tersohor di jagat persilatan sebagai pendekar besar. Dia adalah Raden Eni Rukmini Sekar Ningrat, Guru Besar Perguruan Pencak Silat Panglipur.

Di balik ketuaanya Eni Rukmini masih menyimpan tenaga seorang pendekar pencak silat. Ia pun tak pernah gentar jika harus berhadapan dengan orang muda. Menurut Eni Rukmini, kepada SCTV yang menemuinya belum lama berselang, makna dari kekuatan pencak silat bukan pada tenaga besar namun pada rasa.
Sebagai seorang guru besar pencak silat, Eni Rukmini memang memiliki latar belakang keluarga pendekar. Ayahnya adalah Abah Aleh, pendiri dan pencipta jurus jurus ampuh pencak silat panglipur. Ia mulai dipercaya memimpin perguruan pada 1950. Saat itu sang ayahanda berpandangan dibalik kelembutan dan kecantikan anak bungsunya tersimpan potensi luar biasa dalam hal ilmu pencak silat dan ilmu kepemimpinan.
Pandangan Abah Aleh ternyata benar. Dibawah kepemimpinan Eni Rukmini, Perguruan Pencak Silat Panglipur semakin berkembang pesat. Bahkan dikenal hingga ke mancanegara. Karena itu tak sedikit warga negara asing berguru kepadanya.
Kini usia Eni Rukmini telah mencapai 93 tahun. Itu artinya ia telah memimpin Perguruan Pencak Silat Panglipur selama 58 tahun. Baginya pencak silat adalah tarikan dan hembusan napas. Pencak silat adalah desiran aliran darah ditubuhnya dan jurus jurus panglipur adalah denyut nadinya.
Karena itu pula Eni Rukmini tak pernah merasa lelah untuk menurunkan ilmunya. Ia tak segan turun sendiri ke padepokan sederhananya hanya untuk menyaksikan dan memastikan anak didiknya telah berlatih dengan tekun. Ada harapan besar dijiwanya. Harapan tentang makna jiwa kesatria, jiwa kasih sayang, dan jiwa pengabdian. Dan harapan ini ia tumpukan pada murid-murid perguruannya. Di usia yang telah senja Eni Rukmini mengaku hanya ingin berbuat sesuatu yang bisa memberi arti tentang pewarisan nilai nilai kebajikan dan warisan budaya.


PANGLIPUR

1 komentar:

Biodata Kang Agil

Arsip Blog

Wadya Balad