Bukti adanya kelompok masyarakat pada masa prasejarah
di wilayah Kabupaten Subang adalah ditemukannya kapak batu di daerah
Bojongkeding (Binong), Pagaden, Kalijati dan Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan
benda-benda prasejarah bercorak neolitikum ini menandakan bahwa saat itu di
wilayah Kabupaten Subang sekarang sudah ada kelompok masyarakat yang hidup dari
sektor pertanian dengan pola sangat sederhana.
Selain itu, dalam periode
prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan
penemuan situs di Kampung Engkel,
Sagalaherang.
Hindu
Pada saat berkembangnya corak
kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni
Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari
wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak-kontek dengan beberapa
kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa
pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa
selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan
wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah
Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang
Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat
menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten
adalah wilayah kerajaan Sunda.

Islam
Masa datangnya
pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang
tokoh ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun
1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan
agama Islam ke berbagai pelosok
Subang.
Pasca runtuhnya kerajaan
Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi
rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang,
VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang
cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau
Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di
kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan
menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan
Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan
menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat
seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang
diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan
lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan
Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini
bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan
Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha.
dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah
Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah
Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur)
yang berkedudukan di Subang.
Nasionalisme
Tidak
banyak catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang.
Namun demikian, Setelah Kongres Sarekat Islam di bandung tahun 1916 di Subang
berdiri cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di
Sukamandi (Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang
diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng
Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan
rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang
mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat.
Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands.
Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional
Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935
mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo
di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia
berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk
mengenukakan tuntutan serupa dengan GAPI
Pusat.
Jepang
Pendaratan tentara angkatan laut
Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya
pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri
bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi
kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian,
Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan
Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan melalui
gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi (guru Landschbouw),
R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara
Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan RI di
Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan di Subang, antara
lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain,
banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota TNI.
Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang di Subang
menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat
(Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di
Subang. Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi
perjuangan. Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa
Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih
Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian
diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi
Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan
garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah
Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih
Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan
Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah
perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di
Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan : 1.Wakil
Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya
Purwakarta. 2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan
bupati pertamanya Danta Gandawikarma. 3.Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten
Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten Karawang Timur
adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu,
kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang.
Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan
momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui
Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar