“MENAPAKI JEJAK SANG
JAWARA”
Entitas Masyarakat Banten
Dan Jawa Bagian Barat
Gusman “Jali”
Natawidjaja
(sumber : silatindonesia.com)
Di sebagian masyarakat Jawa bagian
Barat umumnya dan Banten khususnya, keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah
yang sangat panjang.
Jawara bukanlah sosok penamaan
yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya ditenggarai telah ada sejak zaman
kerajaan Sunda berdiri yang hingga kini masih tetap eksis, bahkan di Banten
sendiri sejak abad ke 19 kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit
masyarakat selain kaum ulama dan pamong praja.
Bagi masyarakat Banten dan
sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber
kepemimpinan informal terpenting.
Masyarakat mematuhi perintah ulama
karena memandang kaum ulama sebagai sosok yang disegani.
Berbeda dengan kedudukan ulama,
pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya
tidaklah melebihi kedudukan kaum ulama.
Namun diantara ketiganya, ulama
dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini.
Keduanya diibaratkan bagai dua
sisi mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara
dianggap sebagai “khodam” nya para ulama.
Karena dari para ulamalah sebagian
besar “keilmuan” jawara itu berasal.
Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para ulama dan
jawara”.
Seiring dengan perjalanan waktu,
persepsi masyarakat terhadap Jawara memiliki pemahaman yang beragam, mulai dari
hal yang positif sampai ke hal yang negatif.
Pemahaman masyarakat yang beragam
ini tidak terlepas dari sepak terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup
besar dalam tiga masa perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu
masa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial
Belanda.
Belakangan, kehidupan jawara
dengan character building yang khas itu menciptakan sub kultur kebudayaan baru
masyarakat Banten dan sekitarnya, yaitu Subculture of Violence (sub kultur
kekerasan).
Permasalahan ini muncul ke
permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan sehingga sebagian
masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan premanisme.
Sebagai subkultur kekerasan,
jawara memiliki motif-motif tertentu dalam melakukan kekerasan.
Merekapun mengembangkan gaya
bahasa atau tutur kata yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan
penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat.
Seperti berpakaian hitam dan
memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada
Masyarakat Banten, Tesis S2 UI).
Penampilan terakhir inilah yang
sebagian besar masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat
tradisional.
“MENAPAKI JEJAK SANG
JAWARA”
Entitas Masyarakat Banten
Dan Jawa Bagian Barat
Gusman “Jali”
Natawidjaja
(sumber : silatindonesia.com)
Di sebagian masyarakat Jawa bagian
Barat umumnya dan Banten khususnya, keberadaan jawara memiliki rentetan sejarah
yang sangat panjang.
Jawara bukanlah sosok penamaan
yang baru muncul kemarin sore, keberadaannya ditenggarai telah ada sejak zaman
kerajaan Sunda berdiri yang hingga kini masih tetap eksis, bahkan di Banten
sendiri sejak abad ke 19 kelompok jawara telah menjadi bagian dari golongan elit
masyarakat selain kaum ulama dan pamong praja.
Bagi masyarakat Banten dan
sekitarnya, ulama dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber
kepemimpinan informal terpenting.
Masyarakat mematuhi perintah ulama
karena memandang kaum ulama sebagai sosok yang disegani.
Berbeda dengan kedudukan ulama,
pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya
tidaklah melebihi kedudukan kaum ulama.
Namun diantara ketiganya, ulama
dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini.
Keduanya diibaratkan bagai dua
sisi mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara
dianggap sebagai “khodam” nya para ulama.
Karena dari para ulamalah sebagian
besar “keilmuan” jawara itu berasal.
Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para ulama dan
jawara”.
Seiring dengan perjalanan waktu,
persepsi masyarakat terhadap Jawara memiliki pemahaman yang beragam, mulai dari
hal yang positif sampai ke hal yang negatif.
Pemahaman masyarakat yang beragam
ini tidak terlepas dari sepak terjang sosok Jawara, yang memiliki peranan cukup
besar dalam tiga masa perjalanan sejarah di Banten dan Jawa bagian Barat, yaitu
masa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, dan masa kolonial
Belanda.
Belakangan, kehidupan jawara
dengan character building yang khas itu menciptakan sub kultur kebudayaan baru
masyarakat Banten dan sekitarnya, yaitu Subculture of Violence (sub kultur
kekerasan).
Permasalahan ini muncul ke
permukaan akibat terkontaminasinya nilai-nilai kejawaraan sehingga sebagian
masyarakat ada yang menilai jawara identik dengan premanisme.
Sebagai subkultur kekerasan,
jawara memiliki motif-motif tertentu dalam melakukan kekerasan.
Merekapun mengembangkan gaya
bahasa atau tutur kata yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan
penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat.
Seperti berpakaian hitam dan
memakai senjata golok (Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan pada
Masyarakat Banten, Tesis S2 UI).
Penampilan terakhir inilah yang
sebagian besar masyarakat umum diidentikan dengan pencak silat
tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar