'WILUJENG SUMPING'

Riung mungpulung Urang Sindangsari
Silih Asah Silih Asih Silih Asuh

Jumat, 11 November 2011

SEJARAH SINGKAT KUNINGAN


Taman Kota Kuningan


Sampai sekarang ini, sejarah Kuningan masih menjadi polemik yang belum terpecahkan. Pasalnya, begitu banyak versi sejarah Kuningan yang sama-sama memiliki argumentasi dan data yang meyakinkan. Dari polemik sejarah Kuningan itu, ada baiknya masyarakat menilik sejarah Kuningan sesuai versi  pemerintah daerah kabupaten Kuningan yang validasi datanya terpercaya.
Dalam momentum hari jadi Kuningan, H Aang Hamid Suganda dan H Momon Rochmana selaku pimpinan daerah kembali mensosialisasikan peraturan daerah nomor 21/DP.003/XII/1978 pada 14 Desember 1978 tentang sejarah dan hari jadi Kuningan. Kembali disosialisasikannya sejarah Kuningan versi pemerintah ini bertujuan untuk mengenalkan sejarah singkat Kuningan kepada masyarakat.
Dalam versi pemerintah, sejarah Kuningan disusun sejak adanya tanda-tanda pemukiman Kuningan yang telah memiliki pemerintahan hingga perkembangannya sampai sekarang. Dimana, sekira 3500 tahun sebelum masehi, tanda-tanda adanya pemukiman di Kuningan sudah ditemukan. Hal ini berdasarkan hasil peninggalan-peninggalan yang ditemukan di Kuningan.
Sistem pemerintahan Kuningan dimulai sebagaimana cerita parahiangan dengan nama ‘Kuningan’ pada 11 April 732 M. Pada waktu itu, pemerintahan Kuningan pertama kali dipimpin oleh Seuwekarma sebagai raja atau kepala daerah. Seuwekarma memiliki gelar Rahiangtang Kuku atau sang Kuku yang bersemayam di Arlie dan Saunggalah. Beliau menganut ajaran ‘Dangiang Kuning’ yang berpegang pada ‘Sanghiang Darma’. Beliau bertahta sampai usia yang cukup panjang, sampai kemudian timbul persaingan dengan Sanjaya yang memegang kekuasaan kerajaan Galuh sebelah timur.
Akhirnya Sanjaya mampu menjadi penguasa Kuningan yang selama 9 tahun bertahta. Setelah itu, tahta diberikan kepada putranya yang bernama Rahiang Tamperan. Rahiang Tamperan sendiri memiliki 2 anak yakni, Sang Manarah dan Rahiang Banga. Ketika dewasa, Sang Manarah menjadi raja di sebelah timur, sedangkan Rahiang Banga melanjutkan kepemimpinan ayahnya, menjadi raja Kuningan.
Pada 23 Juli 1175 M, Kuningan dijadikan pusat pemerintahan kerajaan sunda dibawah Rakean Darmasiksa, putra ke-12 rahiang Banga. Setelah bertahta selama 12 tahun di saunggalah, keraton dipindahkan oleh Rakean Darmasiksa ke Pakuan Pajajaran. Setelah itu, Kuningan berubah nama menjadi Kajene yang berarti ‘Kuning’ atau ‘Emas’, dan pada waktu itu Kajene menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran.
Periode Islamisasi Kajene ditandai dengan datangnya Syekh Maulana Akbar dari Caruban (Cirebon). Semasa perjalannya, Syekh Maulana Akbar yang pernah singgah di Buni Haji daerah Luragung ini melanjutkan perjalanan ke Kajene yang notabene didominasi oleh agama Hindu. Setelah tiba di Kajene, beliau mendirikan pesantren di Sidapurna yang maju pesat. Karena pengikutnya bertambah banyak, beliau membuat pemukiman baru dengan dasar Islam yang diberi nama Purwawingangun (mula-mula dibangun). Saat wafat, beliau dimakamkan di Astana Gede.
Pada 1481 M, Syarif Hidayatullah yang dikenal dengn julukan Sunan gunung Jati datang ke Luragung yang pada saat itu Luragung tengah dipimpin oleh Ki Gedeng Luragung yang kemudian masuk Islam. Saat bersamaan, datanglah Putri Ong Tien dari Cina ke Luragung, kemudian menikah dengan Syarif Hidayatullah. Semenjak itu Putri Ong Tien berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Sumanding. Pada waktu itu, Syarif Hidayatullah bersama istri sepakat untuk mengangkat putra yang diberi nama Sang Adipati yang merupakan putra kandung Ki Gedeng Luragung. Lalu, Syarif Hidayatullah beserta istri dan putra angkatnya ini berangkat ke Kajene.
Di Kajene, Sang Adipati dipercayakan kepada pangeran Aria Kemuning yang pada saat itu memimpin Kajene untuk didik dengan baik. Pangeran Aria Kemuning sendiri beragama hindu, namun kemudian masuk Islam. Selama Sang Adipati belum dewasa, pangeran Aria Kemuning ditunjuk oleh Syarif Hidayatullah sebagai kepala pemerintahan perwalian di Kajene di bawah pemerintahan kerajaan Cirebon.
Setelah dewasa, Sang Adipati dinobatkan menjadi kepala pemerintahan Kajene yang kemudian bergelar Sang Adipati Kuningan. Penobatan itu tepatnya dilaksanakan pada 1 Sepetember 1498 M. Dengan berdirinya kerajaan Kuningan di bawah Sang Adipati Kunignan, maka sejak tanggal penobatan daerah yang semula bernama Kejene itu dikembalikan ke nama aslinya yaitu ‘Kuningan’. Sehingga sejak saat itulah 1 September ditetapkan sebagai hari jadi Kuningan.
Setelah penobatan itu, Sang Adipati Kuningan tidak hanya dibantu oleh pangeran Aria  Kemuning saja dalam mengatur pemerintahan. Tetapi juga dibantu oleh Dipati Ewangga atau yang juga disebut Dipati Cangkuang dan Rama Jaksa.
Demikianlah sejarah singkat Kabupaten Kuningan, sejak tanda-tanda adanya permukiman hingga dinobatkannya Sang Adipati Kuningan menjadi kepala daerah, sekaligus menandai hari jadi Kuningan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biodata Kang Agil

Arsip Blog

Wadya Balad