'WILUJENG SUMPING'

Riung mungpulung Urang Sindangsari
Silih Asah Silih Asih Silih Asuh

Jumat, 11 November 2011

Keraton Padjajaran di Kuningan?

Peta lokasi Keraton Padjadjaran KuninganPeta Lokasi Kerajaan Padjajaran Kuningan


Pembicaraan mengenai sejarah keberadaan Keraton Padjajaran yang selama ini ada di Bogor, membuat tokoh masyarakat Kuningan angkat bicara. Setelah mendalami dari berbagai aspek bukti sejarah, seorang penggali sejarah yang juga mantan Sekda Kuningan, HE Madrohim didampingi putranya, Adi Sri Chandra serta pengamat sejarah, Syarif Juanda, menyimpulkan, letak Keraton Padjajaran sesungguhnya berada di Kuningan.

Menurut msesepuh Kuningan sekaligus sebagai sesepuh Susuhunan luhur mulya, HE Madrochim melalui putranya, Adi Sri Chandra, keraton yang juga disebut sebagai Pararaton Panca Padjadjaran Ing Medang Kamuliaan Kuningan Salakadomas (Tempat Para Dewa / Kahyangan) itu sudah saatnya kembali digali oleh masyarakat Kuningan sendiri, bahkan harus diketahui oleh khalayak.
"Nama Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati adalah nama Keraton di Tatar Sunda pada zaman buhun yang sudah tidak asing lagi di masyarakat Jawa Barat," kata Adi Sri Chandra diamini adik Laksma. Syarif Husin, Syarif Juanda ke Kuningan News, (21 / 6).
Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati kata Adi, merupakan lima Keraton besar yang berjajar dari arah utara ke selatan yang terbagi oleh garis tengah kanal sungai Cilengkrang Kurucuk di kaki Gunung Ciremai sebelah Timur. "Wilayah inilah yang terletak di Kabupaten Kuningan Jawa Barat dan itu pula yang dimaksud dengan Padjadjaran," tegasnya.
Lebih lanjut Adi menampilkan, Keraton Padjadjaran adalah Keraton yang mengemban dan mengemudi Panca Pandawa Keraton Susuhunan Penguasa Jagat Pati. Inilah yang dikatakan Pakuwuan / Pakuan, tempat posisi Pusar Lingga Pemerintah sebagai tempat bersemayamnya Yang Agung Yang Dimuliakan, Sri Baginda Maha Raja Ismaya (Sang Hyang Bhatara Ismaya) Sri Badranaya Kartika Sakti Kerta Wibawa sakti mandraguna, atau dikenal dengan nama Aki Cirem.
"Tiap Keraton tersebut mengandung pengertian berbeda, Keraton Sri Suradipati adalah berarti sebagai Keraton Induk yang berkedudukan di Winduherang sebagai Pusat dayeuh Sundapura dengan Sri Baginda Maha Raja Ismaya sebagai Sang Maha Mentri, Pusat Pemerintahan Jagat Pati," tegasnya.
Menurutnya, Keraton Sri Bima berkedudukan di Lingga Jati (sekarang Objek Wisata Pemandian) yang mana sebelumnya berkedudukan di Winduherang. Keraton Sri Punta Pertama berkedudukan di Balong Dalem Jalaksana (sekarang Objek wisata Balong Dalem), kemudian pindah ke cipari (Sekarang Museum Purbakala). Selanjutnya, Keraton Sri Narayana pertama kali berkedudukan di Cijoho (Sekarang Leles belakang LP) yang kemudian lokasinya berpindah ke Manis Kidul (sekarang Objek Wisata Cibulan). Sementara, Keraton Sri Madura berkedudukan di Cigugur (sekarang Objek wisata Pemandian Cigugur).
"Keraton Padjadjaran itu beberapa kali mengalami perpindahan tempat, namun tidak berpindah ke lokasi lain (hanya perubahan nama) dengan tanpa merubah arah lokasi, atau tetap berjajar dari arah Utara ke Selatan, dibawah kaki Gunung Ciremai sebelah Timur. Hal itu terjadi pada masa Taruma Negara / Jagat Pati, yaitu zaman Kala Ruba berkisar tahun 400-500 sebelum masehi, "paparnya.
Selain itu tutur Adi, Keraton Sri Bima awalnya berkedudukan di Keraton Sri Suradipati (Winduherang), kemudian pada zaman Wisnu Warman / Raden Kandyawan mentransfer Keratonnya ke Medang Jati-Medang Sana atau sekarang wilayah Lingga Jati dan Lingga Sana.Tempat ini tetap bernama Keraton Bima. Sementara, Keraton Sri Sura Adipati berkedudukan di Winduherang yang dijadikan sebagai Keraton Induk / Pusat.
"Raden Kandyawan atau Pangeran Sura Liman Agung yang bergelar Sri Baginda Maha Raja Wisnu Warman Jagat Pati merupakan putera Sri Purnawarman alias Pangeran Arya Adipati Ewangga yang bergelar Raja Resi Dewaraja atau Dewangga," terangnya.
Sebagai pelengkap kada Adi, berikut nama-nama Raja yang bertahta di tiapKeraton masing-masing. Keraton Sri Sura Adipati diantaranya, Sri Baginda Maha Raja Purnawarman Jagatpati / Pangeran Arya Adipati Ewangga / Sura Liman Sakti / Raja Resi Dewa Raja, Sang Hyang Batara Wisnu / Raden Kandyawan / Pangeran Arya Adipati Sura Liman Agung / Sri Baginda Maha Raja Wisnu Warman Jagat Pati Kusuma, Sang Rama Jaksa Pati Kusuma / Sang Pandawa / Rama Wijaya / Sri Baginda Maha Raja Candra Warman dan Raden Demunawan / Sri Maha Prabu Resi Guru Saweukarma.
Kemudian, Raja-Raja yang bertahta di Keraton Sri Bima, diantaranya yaitu Sri Baginda Maha Raja Wisnu Warman / Sang Hyang Batara Wisnu / Begawan Sat Mata / Sang Layuwatang, Pangeran Lingga Kusuma Yuda / Sri Baginda Raja Lingga Warman, Maha Prabu Tarusbawa (Tohaan) , Sri Maha Raja Haris Darma Yuda / Sanjaya dan Sri Maha Prabu Raden Darma Siksa / Prabu Guru Darma Siksa Para amarta Sang Maha Purusa (Titisan Batara Wisnu).
Adapun Raja-Raja yang bertahta di Keraton Sri Punta satu saat berkedudukan di Jalaksana (Balong Dalem) diantaranya yaitu, Raden Mandi Minyak (Jala Antara), Raden Brata Senawa / Sena (Hantara) dan Raden Wijaya Kusuma / Kuno Sura. Kemudian, Raja-Raja yang Bertahta di Keraton Sri Punta ke dua saat berkedudukan di cipari diantaranya yaitu, Raden Wijaya Kusuma / Raden Purbasura, Raden Permana Dikusuma Ajar Padang Sukaresi Begawat sajala-jala dan Raden Surotoma / Ciung Wanara atau Arya Santana.
Ada pula, Raja-Raja yang bertahta di Keraton Sri Narayana pertama yang berlokasi di Cijoho (Leles belakang LP) diantaranya yaitu, Sang Pandawa / Sri Baginda Maha Raja Candra Warman / Rama Wijaya / Begawan Nara Pati wasu Brata. Keraton ini dijadikan sebagai pusat keraton Galuh Pakuan yang mana beliau bergelar Prabu Anom / H. Alit.
Kemudian, Keraton tersebut pindah ke Cibulan yang sekarang sebagai Objek Wisata Pemandian. Raja-Raja yang bertahta di Keraton Sri Narayana Cibulan diantaranya yaitu, Sang Rama Wijaya / Dharma Kusuma / Sri Baginda Maha Raja Candra Warman, Sang Maha Prabu Wretikandayun / Raden Sri Sura Dharma, Sang Purba Wisesa / Sang Haliwungan dan Sri Baduga Jaya Ratu Haji, yang sekarang kita kenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Terakhir, Raja-Raja yang bertahta di Keraton Sri Madura saat berkedudukan di Cigugur (Sekarang Objek Wisata Kolam Pemandian) diantaranya yaitu, Sri Maha Prabu Wretikandayun / Raden Sri Sura Dharma, Sri Maha Raja Haris Dharma Yhuda / Raden Sanjaya, Raden Tamperan Bramawijaya, Raden Kamarasa Arya Banga Sang Jaya Jago dan Raden Surajaya Wisesa / Prabu Guru Gantangan / Ratu Sang Hyang / Ki Gedeng Kuningan.


SEJARAH SINGKAT KUNINGAN


Taman Kota Kuningan


Sampai sekarang ini, sejarah Kuningan masih menjadi polemik yang belum terpecahkan. Pasalnya, begitu banyak versi sejarah Kuningan yang sama-sama memiliki argumentasi dan data yang meyakinkan. Dari polemik sejarah Kuningan itu, ada baiknya masyarakat menilik sejarah Kuningan sesuai versi  pemerintah daerah kabupaten Kuningan yang validasi datanya terpercaya.
Dalam momentum hari jadi Kuningan, H Aang Hamid Suganda dan H Momon Rochmana selaku pimpinan daerah kembali mensosialisasikan peraturan daerah nomor 21/DP.003/XII/1978 pada 14 Desember 1978 tentang sejarah dan hari jadi Kuningan. Kembali disosialisasikannya sejarah Kuningan versi pemerintah ini bertujuan untuk mengenalkan sejarah singkat Kuningan kepada masyarakat.
Dalam versi pemerintah, sejarah Kuningan disusun sejak adanya tanda-tanda pemukiman Kuningan yang telah memiliki pemerintahan hingga perkembangannya sampai sekarang. Dimana, sekira 3500 tahun sebelum masehi, tanda-tanda adanya pemukiman di Kuningan sudah ditemukan. Hal ini berdasarkan hasil peninggalan-peninggalan yang ditemukan di Kuningan.
Sistem pemerintahan Kuningan dimulai sebagaimana cerita parahiangan dengan nama ‘Kuningan’ pada 11 April 732 M. Pada waktu itu, pemerintahan Kuningan pertama kali dipimpin oleh Seuwekarma sebagai raja atau kepala daerah. Seuwekarma memiliki gelar Rahiangtang Kuku atau sang Kuku yang bersemayam di Arlie dan Saunggalah. Beliau menganut ajaran ‘Dangiang Kuning’ yang berpegang pada ‘Sanghiang Darma’. Beliau bertahta sampai usia yang cukup panjang, sampai kemudian timbul persaingan dengan Sanjaya yang memegang kekuasaan kerajaan Galuh sebelah timur.
Akhirnya Sanjaya mampu menjadi penguasa Kuningan yang selama 9 tahun bertahta. Setelah itu, tahta diberikan kepada putranya yang bernama Rahiang Tamperan. Rahiang Tamperan sendiri memiliki 2 anak yakni, Sang Manarah dan Rahiang Banga. Ketika dewasa, Sang Manarah menjadi raja di sebelah timur, sedangkan Rahiang Banga melanjutkan kepemimpinan ayahnya, menjadi raja Kuningan.
Pada 23 Juli 1175 M, Kuningan dijadikan pusat pemerintahan kerajaan sunda dibawah Rakean Darmasiksa, putra ke-12 rahiang Banga. Setelah bertahta selama 12 tahun di saunggalah, keraton dipindahkan oleh Rakean Darmasiksa ke Pakuan Pajajaran. Setelah itu, Kuningan berubah nama menjadi Kajene yang berarti ‘Kuning’ atau ‘Emas’, dan pada waktu itu Kajene menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran.
Periode Islamisasi Kajene ditandai dengan datangnya Syekh Maulana Akbar dari Caruban (Cirebon). Semasa perjalannya, Syekh Maulana Akbar yang pernah singgah di Buni Haji daerah Luragung ini melanjutkan perjalanan ke Kajene yang notabene didominasi oleh agama Hindu. Setelah tiba di Kajene, beliau mendirikan pesantren di Sidapurna yang maju pesat. Karena pengikutnya bertambah banyak, beliau membuat pemukiman baru dengan dasar Islam yang diberi nama Purwawingangun (mula-mula dibangun). Saat wafat, beliau dimakamkan di Astana Gede.
Pada 1481 M, Syarif Hidayatullah yang dikenal dengn julukan Sunan gunung Jati datang ke Luragung yang pada saat itu Luragung tengah dipimpin oleh Ki Gedeng Luragung yang kemudian masuk Islam. Saat bersamaan, datanglah Putri Ong Tien dari Cina ke Luragung, kemudian menikah dengan Syarif Hidayatullah. Semenjak itu Putri Ong Tien berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Sumanding. Pada waktu itu, Syarif Hidayatullah bersama istri sepakat untuk mengangkat putra yang diberi nama Sang Adipati yang merupakan putra kandung Ki Gedeng Luragung. Lalu, Syarif Hidayatullah beserta istri dan putra angkatnya ini berangkat ke Kajene.
Di Kajene, Sang Adipati dipercayakan kepada pangeran Aria Kemuning yang pada saat itu memimpin Kajene untuk didik dengan baik. Pangeran Aria Kemuning sendiri beragama hindu, namun kemudian masuk Islam. Selama Sang Adipati belum dewasa, pangeran Aria Kemuning ditunjuk oleh Syarif Hidayatullah sebagai kepala pemerintahan perwalian di Kajene di bawah pemerintahan kerajaan Cirebon.
Setelah dewasa, Sang Adipati dinobatkan menjadi kepala pemerintahan Kajene yang kemudian bergelar Sang Adipati Kuningan. Penobatan itu tepatnya dilaksanakan pada 1 Sepetember 1498 M. Dengan berdirinya kerajaan Kuningan di bawah Sang Adipati Kunignan, maka sejak tanggal penobatan daerah yang semula bernama Kejene itu dikembalikan ke nama aslinya yaitu ‘Kuningan’. Sehingga sejak saat itulah 1 September ditetapkan sebagai hari jadi Kuningan.
Setelah penobatan itu, Sang Adipati Kuningan tidak hanya dibantu oleh pangeran Aria  Kemuning saja dalam mengatur pemerintahan. Tetapi juga dibantu oleh Dipati Ewangga atau yang juga disebut Dipati Cangkuang dan Rama Jaksa.
Demikianlah sejarah singkat Kabupaten Kuningan, sejak tanda-tanda adanya permukiman hingga dinobatkannya Sang Adipati Kuningan menjadi kepala daerah, sekaligus menandai hari jadi Kuningan.

Tokoh Kuningan Turut Menentukan Kemerdekaan RI


Untuk menungkap peran tokoh asal Kabupaten Kuningan dalam membangun negara dan bangsa, serta ikut menjadi penentu bagi lahirnya kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung, bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuningan, menggelar Seminar Sejarah di Aula Bapeda Kuningan, Selasa (26/7).
Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan teladan kepada masyarakat dan untuk meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan generasi muda. Seminar bertema Menggali Nilai-Nilai Kepahlawanan Tokoh-Tokoh Kuningan itu, diikuti 100 peserta lebih, yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, sejarahwan, instansi pemerintah, guru sejarah, tokoh  pemuda, mahasiswa, LSM dan jurnalis. Sementara bertindak sebagai narasumber antara lain, Prof Dr Hj Nina Herlina Lubis MS (Pakar Sejarah dari Unpad Bandung), Dr H Mumuh Muhsin Z MHum, Drs Dodo Suwondo MSi, dan Letkol (Purn) Supardi.
Dalam seminar tersebut disebutkan, diproklamirkannya kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak berarti penderitaan rakyat dan penjajahan selesai. Namun justru sebaliknya, periode pasca proklamasi ini merupakan puncak perjuangan fisik yang dilakukan rakyat Indonesia. Di sanalah keterlibatan Kuningan dalam revolusi kemerdekaan nampak dengan jelas dalam dua hal.
Kedua hal tersebut yaitu Pertama, secara geografir Kabupaten Kuningan menjadi panggung strategis tempat terjadinya peristiwa-peristiwa bersejarah, seperti perjanjian Linggajati.Kedua, tidak sedikit warga Kuningan yang menjadi pelaku sejarah dalam perang kemerdekaan. Bukti nyatanya terlihat dari terjadinya perang kemerdekaan, terutama setelah Kota Cirebon jatuh ke tangan Belanda pada 23 Juli 1947.
Setelah itu, berdasarkan keputusan Dewan Pertahanan Keresidenan Cirebon dan Brigade V Siliwangi, pada akhir Juli 1947 pusat pemerintahan Keresidenan Cirebon secara resmi dipindahkan ke wilayah Ciwaru Kabupaten Kuningan. Hal tersebut seperti diungkapkan salah seorang narasumber seminar yang juga pakar sejarah Indonesia, Dr H Mumuh Muhsin Z MHum.
Menurut Mumuh, saat itu Kabupaten Kuningan menjadi basis para pejuang kemerdekaan. Namun di sisi lain, justru wilayah Kuningan menjadi sasaran serangan tentara Belanda. “Serangan Belanda pada saat itu sangat eskalatif, karena dari 14 Kecamatan yang ada di Kuningan saat itu, lima Kecamatan berhasil diduduki Belanda, yaitu Kecamatan Kuningan, Cilimus, Ciawigebang, Kadugede dan Cidahu,” terangnya.
Pemateri lainnya, Drs Dodo Suwondo MSi, mengungkapkan ada beberapa tokoh sunda yang patut menjadi teladan masyarakat, termasuk di dalamnya tokoh asal Kuningan. “Kita bisa melihat, hingga kini banyak orang sunda yang mengaku keturunan Prabu Siliwangi. Padahal kata Siliwangi itu merupakan gelar seorang raja bernama Sri Baduga Maharaja atau Prabu Dewatawisesa, dan tidak setiap Raja Padjadjaran bergelar Prabu Siliwangi. Barangkali karena jasanyalah Sri Baduga Maharaja dikenal banyak orang sampai sekarang, demikian pula tokoh dan pemimpin di Kuningan,” tuturnya.
Dodo menyebutkan, pada masa peralihan dari agama Sanghyang ke Agama Islam, dua tokoh pemimpin di Kuningan yang sangat kharismatik, yaitu Aria Kamuning dan Adipati Kuningan, seperti pernah diungkap Prof Dr Edi S Ekadjati, dalam buku sejarah Kuningan. “Masa keadipatian dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan Sang Adipati Kuningan. Ary aKamuning dan Ki Gedeng Luragung menjadi pemimpin daerah Luragung. Sedangkan Sang Adipati Kuningan sebagai pemimpin daerah Kuningan,” jelasnya.

Legenda Maha Raja Tarum Nagara


Kuningan News - Sri Baginda Maha Raja Wisnu Warman Jagat Pati Kusuma, merupakan seorang Raja yang melegenda. Raja ini disebut pula Maha Raja Tarum Nagara ke-5, atau dikenal dengan nama Shang Hyang Batara Wisnu/Raden Kandyawan/Begawan Satmata/Pangeran Suraliman Agung/Pandu Dewa Nata. Masa kejayaannya berkisar pada tahun 356 Sebelum Masehi (SM). Demikian legenda ini disampaikan Syarif Juanda kepada Kuningan News, Sabtu (5/11).
Menurut Syarif, Maha Raja Tarum Nagara ke-5 mempunyai adik perempuan bernama Ratu Kandyawati yang menikah dengan Sri Haji Jayanase Swarna Bhumi, yang selanjutnya menjadi kerajaan besar Sri Wijaya. Sri Baginda Maha Raja Wisnu Warman menikah dengan Ratu Endang Asih Komalasari (Ratu Naga Asih).
“Sebagai istri pertama, Ratu Endang merupakan Putri mahkota Sang Hyang Batara Indra. Istri kedua beliau yaitu Ratu Saklawati, yang merupakan putri Raja Wirya Banyu Indraprahasta,”katanya.
Dikatakan Syarif, dari pernikahan Sri Baginda Maha Raja Wisnu Warman dengan Endang Asih Komalasari dan Ratu Saklawati, mereka dikarunia lima orang putra, yaitu Raden Sri Gati/Raden Basurata/Sri Maha Prabu Rama Wijaya/Pangeran Rama Jaksa Pati Kusuma/Sang Yudhistira/Sang Samiaji/Sang Pandawa/Sang Ramayana dan Sang Hyang Sura Wulan/Rang Hyang Karungkalah (Resi Guru di Gunung Karung Luragung).
Kemudian Sang Hyang Katung Maralah (Resi Guru dan Raja Panggung Kuning, Taraju Sindang Agung), Sang Hyang Sandang Gereba/Rang Hyang Rawung Langit-Langit, yang kemudian jadi Resi di daerah Pajambon Karamatmulya) serta Sang Hyang Wreti Kandayun/Sang Sura Dharma, yang kemudian jadi Resi Guru di deunuh Rajadanu Japara, juga sebagai Raja pertama Galuh Medang Kamuliaan Kuningan.
“Wilayah kekuasaan beliau, Sang Hyang Batara Wisnu atau Raden Kandyawan atau Begawat Satmata, meliputi India, Cina serta mesir dan lain-lain,”pungkas Syarif.

KUNINGAN LETAK PEMERINTAH EMAS DAN PERAK

Pusaka peninggalan leluhur Kuningan Medang Kamuliaan (Kajene)
Pusaka peninggalan leluhur Kuningan Medang kamuliaan (Kajene)

Siapa sangka, Pemerintah Emas dan Pemerintah Jakarta yang dikenal sebagai Kerajaan Nusa Kendang pertama di Nusantara, dan berkedudukan sebagai Pusat Jagat Pati (Raja Dunia), ternyata terletak di wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Demikian dinyatakan Sesepuh Kuningan, HE Madrohim ke Kuningan News, Kamis (7 / 7).
Menurut dia, pemerintah ini, konon didirikan oleh Sri Baginda Maha Raja Ismaya (Sang Hyang Bhatara Ismaya), atau Sri Badranaya Kartika Sakti sebagai Sang Penguasa yang berkedudukan di Giri Nata, tepatnya di kaki Gunung Ciremai Kuningan Jawa Barat. Hal tersebut dalam satu Wilayah Medang Kuningan Kamulian yang dikenal dalam bahasa Cina (Tolomo), dalam bahasa Yunani disebut Cryse (Keris) dinilai sebagai Lainnya Kekuatan.
"Dalam peta sejarah Dunia, Bangsa Romawi menyebut Wilayah ini dengan nama Labay yang berarti berlebihan, kaya akan konten mata airnya dan wilayahnya yang subur atau agraris.Pemerintah ini hidup berkisar pada zaman Wangkul (0 - 200 SM), "jelas H. Ohim panggilan akrabnya.
Keberadaan sejarah tersebut, lanjut dia, ditemukan melalui proses penelitian selama kurang lebih 50 tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur Kuningan. "Ini sebagai wujud perhatian saya terhadap Kuningan tercinta, sebagai wilayah Sunda dan Nusantara. Kebetulan hari ini saya genap berusia 91 tahun. Saya harap penelitian ini akan untuk seluruh masyarakat Kuningan khususnya, Sunda dan Nusantara pada umumnya.Ini semata-mata demi menambah keyakinan terhadap Sang Maha Pencipta, Allah SWT, "jelasnya.
Madrohim yang juga mantan Sekda dan Ketua DPRD Kuningan era 1975, sekaligus sebagai seorang Purnawirawan TNI ini mengungkapkan, Pemerintah Emas, yang disebut sebagai Mo-ho-sin oleh beberapa dinasti Cina ini berkedudukan sebagai Pusat dayeuh (Ibu Kota) Pemerintahan Rajata Pura, di saat Sang Hyang Bhatara Ismaya (Sri Baginda Maha Raja Ismaya), yang bergelar Sang Maha Menteri. Letak persisnya adalah di Winduherang Kecamatan Kuningan, Jawa Barat.
Sementara Pemerintah Jakarta, sambungnya, dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah Agryre Chora, dan beberapa dinasti Cina menyebutnya sebagai Ho-ling, berkedudukan sebagai Pusat Tahta Kerajaan atau Lingga Pemerintah Jagat Desa atau Jagat Pati. Di sana, Sri Baginda Maha Raja Ismaya bersama Sri Baginda Maha Raja Umar Mahdi, atau sang Hyang Bhatara Antaga yang berkedudukan sebagai Tahta Raja.
"Pengendali wewenangnya sebagai Sang Penguasa Jagat Pati atau Raja Dunia, atau dalam bahasa Sundanya disebut Kuwu, adalah Sri Baginda Maha Raja Ismaya atau Sang Hyang Bhatara Ismaya. Pemerintah ini terpusat di Lingga Sana Kuningan Medang Kamuliaan dan sebagai tempat kedudukannya dikenal dengan nama Pakuwan, "tutur H Madrohim.
Dalam pengendaliannya, kata Madrohim, baik itu Pemerintahan (Negara Emas) dan Tahta Raja dalam Kenegaraannya (Negara Perak), Sang Bhatara Ismaya dan Shang Hyang Bhatara Antaga tidak bisa dipisahkan. Mereka saling terkait karena akan mengaping dan menata keturunannya kelak, untuk membuat satu kesuksesan sebagai Pusat Pemerintahan Dunia yang disebut (Tarum Nagara). Kemudian Tahta Pemerintahan Pemerintahan ini pada akhirnya dikenal sebagai Salaka Negara (Rajata Pura). Pada zaman inilah Sang Hyang Bhatara Ismaya dikenal sebagai Sang Aki Luhur Mulia (Aki Cirem).
Lebih jauh, Madrohim menjelaskan, waktu Tahta Salaka Negara diberikan kepada Syeh Subakir atau (Dewa Warman) yang wilayahnya terletak di Selatan Gunung Ciremai, tepatnya di Darmaloka Kuningan Medang Kamuliaan. Pada waktu ini, ia bergelar Prabu Darmaloka Pala Sri Haji Dewa Warman Raksa Gapura Sagara Hyang, atau dikenal sebagai Syekh Rama Gusti.Kelak, Keraton Pusat Salaka Darma ini dijadikan pula sebagai Pemerintah Indrapahasta pertama, yang didirikan oleh Maha Resi Santanu (Syekh Rama Bukit), dan membangun Situ Gangga Nadi atau Situ Darmaloka sebagai Pusat Pemandian Suci.
"Selaku Sang Nata Pemerintahan dan Kenegaraan Sang Hyang Bhatara Ismaya dan Sang Hyang Bhatara Antaga, dia memberikan kewenangan kepada turunannya untuk mendirikan dan melanjutkan kesuksesan Jagat Pati bernama Pemerintah Jagat Pati Tarum Nagara, yang berkedudukan di Giri Nata Kuningan Medang Kamuliaan," kata Madrohim diamini putranya , Soni Candra dan Seorang pengamat sejarah Kuningan yang juga sebagai anggota DPRD Fraksi Demokrat, Syarif Juanda.
Pemerintah Tarum Nagara Lingga Langlang Bhuana
Penuturan lainnya dari Madrohim mengatakan, nama Tarum Nagara sendiri menurutnya, merupakan Pemerintah Jagat Pati atau Pemerintah Lingga Langlang Bhuana, yang mengandung makna Pemerintah yang sudah bisa mengarungi Negara Luar (Sang Garung) dari nama Sungai Ci Sang Garung yang dimulai dari Jonggring Salaka (Babakan Cigadung ) ke arah Timur dan Selatan. Tempat itu merupakan Kedududukan Keraton Sang Rama Guru. Panji Dari Pada Raja Tarum Nagara adalah Bertujuan membawa umat untuk membela kebenaran, keadilan dan membasmi keangkara murkaan, dengan satu keyakinan yang kuat kepada Sang Maha Pencipta atau Tuhan Yang Maha Esa.
"Pemerintah Tarum Nagara satu ditahta oleh Sang Hyang Bhatara Guru yang bergelar Sri Baginda Maha Raja Diraja Guru Jaya Singa Warman (Rama Guru), berkedudukan di seputar Wilayah Babakan Cigadung Kuningan Medang Kamuliaan. Kemudian beliau memindahkan Pusat Tahta kerajaannya ke Wilayah Rajata, yang berkedudukan di Citamba Cigugur Kuningan Kamulian. Beliau dikenal dengan nama Sang Hyang Manik Maya atau Ki Gedeng Padaran. Ia juga mendirikan Situ Candraba (Citamba), sebagai tempat pemandian suci dan sebagai tempat mengalirkan air untuk kebutuhan rakyatnya, "jelasnya.
Ditambahkannya, Tahta Tarum Nagara diberikan kepada putranya yang bernama Sri Baginda Prabu Darmansyah Warman (Buyut Pangayakan), sebagai Raja Tarum Nagara kedua yang masih berkedudukan di Rajata Citamba (Candraba). Kemudian, Pemerintah Tarum Nagara ketiga di Tahta oleh Puteranya Sang Hyang Bhatara Guru, yaitu Sang Hyang Bhatara Surya yang bergelar Sri Baginda Maha Raja Purnawarman Sang Iswara Bima Prakarma Digwijaya Surya Maha Purusa Jagat Pati (Pangeran Arya Adipati Ewangga).
"Beliau kemudian mentransfer posisi Keratonnya dari Rajata Pura Citamba ke Winduherang, yang kemudian dijadikan Ibukota Pertama dengan nama Sunda Pura. Di sinilah masa Kerajaan Jagat Pati mendapatkan kesuksesan yang sangat gemilang dan luar biasa, sampai Sang Purnawarman sudah bisa menguasai Dunia Barat dan Timur, karena diaping langsung oleh Sri Baginda Umar Maya dan Sri Baginda Umar Mahdi, yang bernama Sri Baginda Syeh Jafar atau Sura Liman Sakti , "pungkasnya.
Pemerintah Tarum Nagara keempat ditahta oleh Sri Baginda Maha Raja Surya Warman, atau Sang Hyang Bhatara Kanoe dikenal sebagai Pangeran Surya Negara, atau Pangeran Weru Angga Pati sebagai Adik Sang Hyang Bhatara Surya Ewangga (Purna Warman). Sedangkan Tahta Kerajaan Tarum Nagara ke lima yaitu Bhatara Wisnu bergelar Sri Baginda Maha Raja Wisnu Warman sebagai putra Bhatara Surya (Purna Warman), dimana dikenal pula dengan nama Pangeran Arya Adipati Sura Liman Agung. Kemudian mentransfer posisi Keratonnya ke Medang Sana-Medang Jati tepatnya Lingga Sana Kabupaten Kuningan dengan mendirikan Keraton Bima yang sekarang menjadi obyek Wisata Lingga Jati.
"Tahta Kerajaan Tarum Negara keenam ditahta oleh Bhatara Indra yang sebelumnya bertahta sebagai Prabu yang berkedudukan di Indra Jaya Darma. Kemudian beliau diangkat menjadi Raja Tarum Nagara bergelar Sri Baginda Maha Raja Indra Warman (Raga Sakti) yang berkedudukan di Setia Negara Kuningan Medang Kamuliaan. Ia tidak lain adalah adik Sang Hyang Bhatara Surya Ewangga (Purna Warman). Pemerintah Tarum Nagara ke tujuh ditahta oleh Sri Maha Prabu Rama Wijaya yang bergelar Sri Baginda Maha Raja Candra Warman atau dikenal Sang Pandawa yang diberikan usia cukup panjang, ia dikenal sebagai Pangeran Rama Jaksa Patikusuma, "jelasnya.
Pada akhirnya, tambah dia, Raja ini memindahkan posisi Keratonnya kembali ke Ibukota Sunda Pura di Winduherang, karena pada akhirnya dijadikan sebagai Dinasti Sang Hyang Bhatara Surya Ewangga (Purna Warman), yang juga seorang Maha Purusa yang sangat sakti sekali, bergelar Sang Haris Wangsa Maha Purusa Sakti Surala Dewangga Agung Sang Para Amartha.
"Beliaulah yang mengeluarkan Ajaran Hasta Brata, atau delapan ajaran kepeminpinan yang bersih, dan Beliaupun yang mengeluarkan ajaran sepuluh pedoman hidup yang baik untuk umat manusia (Ten Comandemand) atau Dasa Sila, Dasa Kerta atau Dasa Marga. Beliau menerima ajaran ini langsung dari Sang Maha Pencipta Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran ini berarti Suatu Pedoman Hidup Seluruh Umat Manusia untuk menuju satu keamanan, kesentosaan, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan yang beradab di muka bumi dengan satu keyakinan yang kuat adanya Sang Maha Pencipta Tuhan Yang Maha Esa, "tuturnya.
Inilah yang menurut Madrohim, merupakan ajaran yang disebut Dangiang Kuningan (Dangiang Kuning), yang selanjutnya sebagai penerima mandat terakhir, yaitu Maha Resi Guru Sang Saweukarma sebagai Raja kedua Kuningan yang berkedudukan di Saunggalah Kuningan (Windu Herang) Arile. 

Biodata Kang Agil

Arsip Blog

Wadya Balad